“Seorang hamba berada paling dekat dengan Tuhannya saat ia bersujud.” (HR. Muslim)
“Dalam sujud, kita menemukan paradoks tertinggi kehidupan: semakin rendah kita merendahkan diri, semakin tinggi jiwa kita melayang.”

Suatu sore, saya mengamati seorang bocah kecil bermain di taman. Ia sedang asyik dengan sebuah balon helium berwarna merah cerah. Tangannya yang mungil menggenggam erat tali balon itu, seolah tahu bahwa jika dilepaskan, balon tersebut akan melambung tinggi ke angkasa—tak terjangkau lagi. Sesekali, ia sengaja melepaskan tali itu untuk kemudian menangkapnya kembali dengan tawa riang, menikmati permainan kecil yang mencekam sekaligus menggembirakan.
Tiba-tiba, entah karena kelalaian atau memang dorongan rasa ingin tahu anak-anak, tali itu terlepas dari genggamannya. Balon merah melesat ke atas, semakin tinggi, semakin mengecil, hingga akhirnya menjadi titik kecil yang nyaris tak terlihat di langit senja. Anak itu terpaku, matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan tangis yang siap pecah.
Ayahnya yang sejak tadi duduk di bangku taman menghampiri. Bukannya langsung menghibur atau menjanjikan balon baru, sang ayah justru membimbing putranya untuk duduk di rerumputan. “Lihat daun itu,” katanya sambil menunjuk sehelai daun kering yang baru saja jatuh dari pohon. “Daun itu seperti kita. Selalu jatuh kembali ke bumi.”
Saat itulah saya teringat pada sujud dalam shalat—momen ketika dahi menyentuh bumi, ketika manusia berada dalam posisi terendahnya secara fisik, namun justru dalam keadaan terdekat dengan Sang Pencipta.
Sujud dan gravitasi. Keduanya mengingatkan kita pada hukum yang tak terhindarkan: segala sesuatu yang terangkat akan kembali jatuh. Semua yang melayang akan kembali ke bumi. Bukankah ini mirip dengan perjalanan hidup manusia? Kita berasal dari tanah, dan pada akhirnya akan kembali ke tanah. “Minhaa khalaqnaakum wa fiihaa nu’iidukum wa minhaa nukhrijukum taaratan ukhraa” (Dari tanah itulah Kami menciptakan kamu, kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu sekali lagi).
Albert Einstein, dalam teori relativitasnya, menjelaskan bahwa gravitasi bukan sekadar gaya tarik-menarik, melainkan lengkungan dalam ruang-waktu. Benda-benda besar seperti bumi menciptakan cekungan, dan benda-benda lain “jatuh” ke dalam cekungan tersebut. Inilah yang kita rasakan sebagai gravitasi.
Dalam spiritualitas Islam, konsep serupa dapat ditemukan dalam hubungan antara manusia dan Allah. Ada semacam “gravitasi spiritual” yang selalu menarik ruh kita kembali kepada-Nya. Sebagaimana jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, ruh manusia memiliki fitrah untuk selalu mencari jalan pulang kepada Penciptanya.
Imam Al-Ghazali dalam bukunya “Kimiya-e-Sa’adat” (Kimia Kebahagiaan) menuliskan bahwa jiwa manusia memiliki kerinduan alamiah untuk kembali kepada Allah, seperti burung yang terbang kembali ke sarangnya saat senja. Kerinduan ini tidak akan pernah terpuaskan oleh apapun di dunia materi, karena pada hakikatnya ia adalah kerinduan akan Yang Maha Tak Terbatas.
Dalam sujud, kita mengakui gravitasi ruh ini. Kita memasrahkan diri sepenuhnya, melepaskan ego, dan membiarkan jiwa ditarik kembali ke titik asalnya. Sebagaimana benda yang jatuh mengikuti hukum fisika, jiwa yang bersujud mengikuti hukum spiritual. Keduanya tidak bisa dilawan, keduanya membawa kita kembali ke tempat di mana seharusnya kita berada.
Namun, zaman modern telah membuat banyak dari kita seperti balon helium—terbang tinggi dengan kesombongan, terlepas dari tali yang menghubungkan kita dengan bumi dan dengan Sang Pencipta. Materialisme, konsumerisme, dan individualisme telah menjadi gas-gas yang mengangkat kita semakin jauh dari esensi kemanusiaan kita. Kita mengira diri kita bebas, padahal sebenarnya kita tersesat.