
Hidup yang tidak direfleksikan seperti membaca buku tanpa pernah memahami maknanya—kau mungkin hafal setiap kata, tapi ceritanya tetap asing bagimu.
Oleh: Arda Dinata
“Hidup yang tidak pernah direnungkan seperti berjalan dalam gelap tanpa lentera—kau mungkin sampai di tujuan, tapi tak pernah tahu apa yang kau lewatkan di sepanjang jalan.” – Marcus Aurelius
Bayangkan opera sabun panjang bernama “Kehidupan”, di mana kita semua adalah aktor tanpa naskah. Sutradara berteriak “action!” saat kita lahir, dan “cut!” ketika ajal menjemput. Tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar membaca ulang adegan yang telah kita mainkan?
Socrates, si tua bijak dari Athena, pernah mengatakan: “Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani.” Kalimat itu menggelitik saya di tengah kemacetan Jakarta yang seperti antrian di loket pembayaran dosa. Betul juga. Kita sibuk berlari, tapi lupa bertanya: ke mana?
Coba perhatikan. Pagi-pagi kita sudah bergegas membuka ponsel pintar. Jari menari lincah di media sosial. Menyukai ini-itu. Berkomentar tentang segala hal yang bahkan tidak kita pahami. Seperti dalang wayang yang mabuk, kita menggerakkan boneka tanpa tahu jalan ceritanya.
Kita makan tanpa merasakan. Bicara tanpa mendengarkan. Bercinta tanpa mencintai. Beribadah tanpa memaknai. Semua serba otomatis. Seperti robot yang diprogram untuk berfungsi, bukan manusia yang dicipta untuk bermakna.
Sebuah penelitian dari Harvard Business School yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan bahwa 47% waktu kita dihabiskan dalam kondisi “mengembara” – pikiran tidak berada di tempat sama dengan tubuh. Bayangkan! Hampir separuh hidup, kita tidak benar-benar “hadir”.
Di era TikTok dan reels, hidup kita seperti cuplikan 15 detik yang diputar berulang. Sensasional, tapi dangkal. Algoritma mendikte apa yang kita sukai. Kita menjadi penonton pasif dari hidup kita sendiri. Refleksi? Itu fitur yang sudah usang, katanya. Tidak kompatibel dengan sistem operasi terbaru.
Pernah suatu pagi, saya duduk di warung kopi pinggir jalan. Di sebelah saya, sekumpulan eksekutif muda dengan jas rapi dan dasi mahal. Mereka sibuk membicarakan saham, kripto, NFT, dan seabrek istilah finansial yang terdengar seperti mantra sakti.
“Hidup ini tentang akumulasi aset,” kata salah satu dari mereka dengan yakin. “Usia 30 harus punya rumah, usia 40 harus punya passive income.” Saya tersenyum tipis. Betapa mudahnya kita mereduksi kompleksitas hidup menjadi spreadsheet Excel.
Lihatlah pandangan mata mereka – kosong dan jauh, seperti mencari sesuatu di horizon yang tak kunjung terlihat. Padahal kopi di hadapan mereka mulai dingin, dan pagi yang indah berlalu tanpa disadari.
Menurut filsuf kontemporer Byung-Chul Han dalam bukunya “The Burnout Society” (2015), masyarakat modern menderita penyakit “kelelahan jiwa” karena terobsesi dengan produktivitas dan pencapaian. “Kita hidup di era hyperattention tanpa kemampuan deep attention,” tulisnya. Tepat sekali. Kita melihat segalanya, tapi tidak benar-benar memperhatikan apapun.
Dulu, nenek saya yang buta huruf tapi bijaksana sering berkata: “Hidup itu seperti menanak nasi. Kalau terlalu sibuk melihat ke panci tetangga, nasimu sendiri bisa hangus.” Perbandingan sederhana yang dalam maknanya. Di media sosial, kita sibuk mengagumi “nasi” orang lain yang terlihat sempurna, sementara hidup kita sendiri terbengkalai.
Tahun 1990-an, saat masih mahasiswa, saya dan teman-teman sering duduk berjam-jam di bawah pohon rindang kampus. Mendiskusikan filsafat, puisi, dan impian. Sekarang, pertemuan dua jam terasa melelahkan jika tidak ada agenda konkret dan KPI yang terukur. Waktu telah berubah dari sahabat menjadi lawan yang harus dikalahkan.
Film “Groundhog Day” (1993) bercerita tentang Phil Connors yang terjebak mengulangi hari yang sama berulang kali. Awalnya dia frustasi, tapi perlahan menyadari bahwa pengulangan itu memberinya kesempatan untuk merefleksikan hidup dan menjadi versi terbaik dirinya. Bukankah sebagian dari kita seperti Phil sebelum tercerahkan? Menjalani rutinitas yang sama, tanpa pernah berhenti untuk bertanya: apa maknanya?
Bagi sebagian orang, refleksi terdengar seperti kemewahan. “Mau makan saja susah, mau refleksi apa?” kata seorang tukang ojek kepada saya. Tanggapan yang masuk akal. Tapi bukankah justru dalam kesulitan, refleksi menjadi lebih penting? Tanpa refleksi, kita hanya bereaksi. Dengan refleksi, kita bertindak dengan kesadaran penuh.
Dalam studi longitudinal selama 75 tahun oleh Harvard University yang melibatkan 724 partisipan, ditemukan bahwa faktor terpenting dalam kebahagiaan dan kesehatan adalah kualitas hubungan manusia, bukan kekayaan atau ketenaran. Orang-orang yang mengambil waktu untuk merefleksikan nilai-nilai dan hubungan mereka cenderung lebih bahagia dan sehat.