Insiden Bojong dan TPSA yang Sanitair
Oleh: ARDA DINATA
INSIDEN Bojong , Senin (22/11) begitu menghebohkan, hampir semua media cetak dan elektronik memberitakan kejadian tersebut sebagai isi berita utamanya. Waktu itu ribuan warga Bojong dan sekitarnya memblokir jalan untuk menolak dioperasikannya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong. Penolakan ini berbuntut kerusuhan. Lima warga tertembak, dan seluruh areal TPST dirusak. Kerugian akibat tindak kekerasan itu mencapai Rp 83 miliar, tidak termasuk kendaraan yang dirusak.
Menurut saya, terjadinya insiden Bojong tersebut, tidak lain adalah karena kekecewaan yang terjadi selama ini terhadap aspirasi warga sekitar TPST Bojong yang telah “diabaikan”. Jadi, insiden Senin (22/11) itu merupakan puncaknya. Karena kita tahu, tindakan penolakan warga sekitar terhadap pengoperasian TPST Bojong ini sudah beberapa kali terjadi. Mereka menilai TPST Bojong harus ditutup. Tapi, aspirasi ini kelihatannya tidak direspon dengan baik oleh Pemda Bogor dan developer pengelola TPST (PT. Wira Guna Sejahtera).
Selain itu, insiden tersebut terjadi akibat “lemahnya” proses sosialisasi. Kenyataan ini, diakui Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, “Tujuan dan proses kerja TPST ini memang kelihatan bagus, karena ekses polusi bisa ditekan dalam prosesnya. Namun, masyarakat juga harus diberi tahu lebih dahulu, karena mereka ketakutan lingkungannya tercemar.”
Kondisi tersebut, diperparah lagi dengan dalih otonomi daerah, ternyata dalam proses perencanaan pengelolaan lingkungan di TPST Bojong kurang koordinatif dengan lembaga terkait. Hal ini dapat dibuktikan dari penuturan Danny Setiawan, ketika menghadiri Rakor Pemprov Jabar di Bandung, “Dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Jabar, saya mendapat keterangan bahwa Pemerintah Provinsi Jabar tidak pernah dikoordinasi soal TPST Bojong karena memang itu kewenangan Pemkab Bogor,” tuturnya. (MI, 24/11).
Hikmah dari kejadian Bojong ini, terkait dengan masalah pengelolaan lingkungan (sampah), sebenarnya ada hal yang patut menjadi catatan kita (baca: tiap daerah) bahwa permasalahan lingkungan itu bukan milik perseorangan atau golongan. Tapi, ia adalah milik dan tanggung jawab kita semua sebagai penghuni bumi. Artinya, pengelolaannya itu harus integral dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan di suatu daerah haruslah melibatkan semua komponen masyarakat dan pemerintah, lebih-lebih di era reformasi saat ini.
Dalam bahasa lain, menurut Bruce Mitchell (2000), dalam buku “Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan” mengungkapkan bahwa proses reformasi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia dapat dipandang sebagai peluang bagi upaya-upaya konservasi lingkungan, terutama dengan semakin dibukanya kesempatan bagi masyarakat banyak untuk bersuara dan mengeluarkan aspirasinya. Meskipun masih merupakan hipotesis, proses reformasi dan demokratisasi yang terjadi di Indonesia menjanjikan bahwa keputusan-keputusan penting yang menyangkut lingkungan akan dapat dipecahkan secara lebih objektif, terbuka dan fair.
Sekarang pertanyaannya adalah unsur-unsur apa saja yang mestinya diperhatikan dalam pengelolaan sampah itu? Dan studi pendahuluan seperti apa yang harus dilakukan untuk menetapkan suatu tempat yang dijadikan sebagai Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) yang baik/ sanitair itu?
Unsur pengelolaan sampah
Berbicara sampah, pada awal kehidupan manusia, sebenarnya sampah belum menjadi masalah. Tapi, dengan bertambahnya jumlah penduduk dan ruang untuk hidup manusia luasnya tetap, maka makin hari keberadaan sampah menjadi masalah yang perlu ditangani secara serius.
Secara umum pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan akan mengakibatkan dampak berikut ini. Pertama, dapat menjadi sumber pengotoran tanah, sumber-sumber air permukaan tanah/air dalam tanah ataupun udara. Kedua, dijadikan sebagai tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus. Ketiga, dapat menjadi sumber dan tempat hidup dari kuman-kuman yang membahayakan kesehatan.
Secara demikian, kita hendaknya bersikap bijaksana dalam memperlakukan sampah dan harus turut berperan serta mengembangkan secara aktif menyangkut pengolahan sampah dikota di mana kita bermukim.
Di sini, pengelolaan sampah dapat diartikan sebagai suatu bidang yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbulan, penyimpanan (sementara), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemerosesan dan pembuangan sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, keahlian teknik, perlindungan alam, keindahan (estetis), dan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dan juga mempertimbangkan sikap masyarakat (Tchohanoglous, et.al; 1977).
Secara demikian, ruang lingkup dari pengelolaan sampah yang terlibat dalam pemecahan masalah sampah yang menimpa masyarakat adalah termasuk fungsi-fungsi administrasi, finansial, hukum, perencanaan dan teknik pembangunan perkotaan. Sehingga dalam hal ini, pemecahannya diperlukan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu seperti politik, perencanaan kota dan daerah, geografi, ekonomi, kesehatan masyarakat, sosiologi, demografi, komunikasi, perlindungan alam, dan lainnya.
Untuk mencapai jalan penyelesaian permasalahan pengelolaan sampah yang kompleks tersebut, maka kita harus mengetahui beberapa unsur utama dalam pengelolaan sampah, sehingga kita mengetahui hubungan dan urgenitasnya dari masing-masing unsur tersebut, agar kita dapat memecahkan masalah ini secara efisien. Adapun unsur-unsur utama dalam pengelolaan sampah itu, yaitu seperti terlihat dalam diagram di bawah ini.
PENIMBULAN SAMPAH
PENYIMPANAN
………….…………. PENGUMPULAN………….…………. PENGANGKUT ! ………………
PENGOLAHAN DAN PEMAMFAATAN KEMBALI
……………….…… PEMBUANGAN…………..…………
Dengan memahami keenam elemen fungsional secara terpisah diharapkan: (1) untuk mengenal segi-segi fundamental dan kaitan-kaitan masing-masing elemen. (2) Untuk mengembangkan, bila mungkin dapat mengukur hubungan-hubungan tersebut yang berfungsi untuk tujuan-tujuan pembuatan perbandingan teknik, analisa dan evaluasi. Dalam arti lain, pemisahan elemen tersebut penting untuk membantu dalam pengembangan, kerangka kerja, termasuk didalamnya untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh yang timbul dari perubahan-perubahan yang diusulkan. (3) Untuk memecahkan masalah yang khusus. Misalnya cara pengumpulan sampah, khususnya sampah hasil buangan industri kimia, cara pengangkutan dan pemusnahannya.
Berkait dengan keenam elemen-elemen fungsional tersebut, sistem pengelolaan sampah di kota-kota besar Indonesia pada umumnya baru menerapkan empat elemen, yaitu: penimbulan sampah, penyimpanan sementara, pengumpulan/pengangkutan dan pembuangan sampah. Sedangkan elemen pengolahan dan pemanfaatan kembali dari sampah yang dihasilkan belum dimanfaatkan (baca: dilakukan) secara maksimal dan profesional. Padahal kalau saja elemen pengolahan dan pemanfaatan kembali dari sampah dilakukan secara profesional, maka setidaknya PD Kebersihan sebagai perusahan daerah dapat menghasilkan komoditi daur ulang yang akhirnya mendapatkan penghasilan buat perusahaan, kelancaran kerja operasional dan kesejahteraan karyawannya.
TPSA yang baik
Suatu program pengelolaan sampah belum bisa dikatakan berhasil keseluruhannya dengan baik, tanpa menyelesaikan hingga tahap disposalnya (pembungan akhir) dengan baik. Berkait dengan tahap pembungan akhir (refuse disposal) ini, sebelum kita menetapkan suatu tempat yang akan dijadikan sebagai TPSA, maka terlebih dahulu kita perlu melakukan studi pendahuluan.
Adanya studi pendahuluan tersebut, dimaksudkan untuk mempertimbangkan sejumlah aspek. Pertama, aspek kesehatan dan estetika. Dalam hal ini dimaksudkan, misalnya sampah harus dihindarkan (tidak expose) dari kemungkinan bersarang/ berkembang biak, bagi vektor penyakit, binatang pengganggu maupun jamahan para pemulung dalam sampah yang ditampung.
Kedua, harus ditentukan pula sistem dan metode pengelolaan sampah yang digunakan. Dari studi ini didapat sistem dan metode pengelolaan sampah mana yang tepat dilakukan dan dikembangkan.
Ketiga, penggunaan tenaga mekanisasi. Dalam hal ini, mekanisasi yang dimaksud tidak lain metode yang menggunakan tenaga secara intensif harus diterapkan, jika penggunaan mesin tidak dapat mengurangi pembiayaan total, atau bila dipandang penting untuk perlindungan kesehatan..
Keempat, menentukan produktivitas dari pengelolaan sampah. Produktivitas tinggi akan dapat dicapai dengan metode dan studi kelayakan waktu secara prioritas diberikan pada sesuatu komponen yang memiliki produktifitas tinggi.
Sementara itu, menyangkut metode pembuangan sampah yang sesuai dengan kesehatan, terdapat empat sistem pembuangan. Pertama, ginding system, yakni suatu metode pembuangan sampah, khususnya sampah basah (garbage) yang berasal dari sisa makanan dari dapur-dapur perumahan ataupun restoran dengan cara menghancurkannya lebih dahulu. Kemudian, dibuang ke selokan pembuangan air kotor untuk mengalami pemecahan atau pembusukan dalam instalasi pembuangan air kotor.
Kedua, composting, yaitu pemecahan bahan-bahan organik dari sampah secara biokimia, yang memproduksi hasil akhir bahan-bahan menyerupai humus dan digunakan untuk mengatur kondisi tanah pertanian (soil conditioning). Composting ini juga belum merupakan cara pembuangan sampah secara tuntas, karena dari proses ini diperlukan proses-proses pemilihan bahan sebelumnya. Bahan-bahan yang tidak digunakan sebagai bahan kompos harus dibuang.
Ketiga, incineration, yaitu merupakan cara pembuangan sampah yang digunakan paling extensif di Amerika Serikat. Teknik pembakaran sampah ini telah dicoba dalam suatu proyek percontohan dengan alat the Combustion Power Unit 400 yang dapat membakar sampah sekaligus membangkitkan tenaga listrik. Keistimewaan alat ini adalah dilengkapi dengan peralatan yang bisa menghindari terjadinya polusi udara akibat pembakaran sampah seperti partikel-partikel debu, gas-gas yang bersifat korosif terhadap logam.
Keempat, sanitary landfill, yakni suatu cara pembuangan sampah yang merupakan final disposal yang sesungguhnya, tanpa adanya pengolahan/penanganan sebelumnya terhadap sampah yang akan dibuang. Oleh karena itu, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang bernada merugikan dengan cara ini yaitu banyaknya bahan-bahan yang mempunyai potensial untuk digunakan kembali tertanam begitu saja. Tapi, hal ini dapat dihindari seandainya dari awal para penimbun sampah telah memisahkan antara sampah yang bisa di daur ulang (secara langsung) dengan sampah yang tidak bisa dimanfaatkan kembali secara ekonomis.
Namun demikian, cara ini merupakan cara yang paling mudah dan murah dibanding dengan cara-cara sebelumnya. Pada prinsipnya sanitary landfill adalah suatu cara pembuangan sampah ke tempat-tempat rendah dan ditutup dengan tanah (dengan syarat teknis tertentu) untuk memenuhi persyaratan sanitasi. Misalnya, menghindari adanya lalat dan tempat berkembangbiak binatang pengganggu serta menghindari bau dari tumpukan sampah.
Akhirnya, sudahkah pola-pola dan pemikiran seperti diuraikan di atas telah dilakukan pemerintah dalam pemilihan lokasi TPST Bojong, termasuk masalah metode yang digunakan? Apalagi terdengar kabar bahwa metode yang digunakan “menyeleweng” dari dokumen Amdal, yaitu dari metode sanitary landfill berubah menjadi incineration yang disangsikan kualitas pengendalian polusi udaranya? Wallahu ‘alam.***
Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan hidup, tergabung di Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia/HAKLI.