Pasanggiri: Fenomena Hamil Sebelum Nikah di Suku Tengger Ngadiwono - www.ArdaDinata.com
Uncategorized

Pasanggiri: Fenomena Hamil Sebelum Nikah di Suku Tengger Ngadiwono

Pasanggiri:
Fenomena Hamil Sebelum Nikah di Suku Tengger Ngadiwono
 
Oleh Arda Dinata
Ngadiwono, adalah nama sebuah desa yang berada di sekitar Gunung Bromo. Pada wilayah Gunung Bromo banyak  bertebaran masyarakat Suku Tengger. Desa Ngadiwono ini secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan. Desa yang merupakan sentra penghasil sayuran Kentang ini terdiri dari 14 RT dan 4 RW, dengan jumlah penduduk sekitar 600 KK. Adapun populasi penganut agamanya terdiri dari 80% Hindu, dan sisanya menganut agama Islam dan Kristen.
Menurut pengakuan Bapak S (46 tahun), tidak ada keterangan pasti sejak kapan Desa Ngadiwono ini berdiri.
“Tapi dilihat dari asal usul namanya, Ngadiwono dulunya adalah berupa alas atau hutan belantara. Ngadiwono sendiri berasal dari dua suku kata, yaitu Ngadi dan Wono. ‘Ngadi’ berarti membuka atau membabat. ‘Wono’ berarti hutan atau alas,” katanya menjelaskan panjang lebar.[1]
Untuk menuju lokasi penelitian ini, saya menempuhnya dengan menggunakan mobil travel sewaan. Saya berangkat bersama rombongan dari Kantor Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, yang ada di jalan Indrapura nomor 17 Surabaya mulai jam 08.18 WIB. Dengan melewati daerah pegunungan yang berliku-liku, di temani udara yang terasa dingin menusuk tulang dan tubuhku, akhirnya pada jam 13.30 saya sampai di Desa Ngadiwono yang masyarakatnya begitu ramah.
Sebagian besar masyarakat di sini adalah bertani sayur-sayuran. Kondisi udaranya sangat sejuk dan terbilang dingin karena lokasinya berada di ketinggian 1800 mdpl. Makanya masyarakat disini dalam melakukan aktivitas bertani sehari-hari selalu menggunakan pelindung diri berupa sarung dan jaket untuk menghangatkan tubuhnya.
Sementara itu, masyarakat Desa Ngadiwono dalam menggunakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersumber dari mata air. Di desa ini terdapat tiga mata air yang tersebar pada tiga dukuh. Namun, karena debit yang kecil sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Akibatnya ada sebagian masyarakat yang mengambil air di daerah lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Meski demikian, ada satu sumber mata air di daerah bagian bawah yang bisa digunakan oleh penduduk, tapi dengan syarat tidak boleh mengambilnya menggunakan mobil atau dengan kata lain hanya menggunakan jerigen yang berisi 25 literan. Jadi, kalau penduduk mau mengambil banyak, biasanya mereka mengambil airnya di daerah bagian atas, yaitu dengan menggunakan wadah besar berkapasitas sampai 1000 liter yang diangkut dengan menggunakan mobil pick up.
Adapun secara topografi, kondisi Desa Ngadiwono ini tekstur tanahnya berbentuk terasering, dengan kemiringan yang cukup curam. Kondisi jalanan mulai balai desa ke arah bawah perkebunan berupa paving blok. Sebelumnya menurut cerita Bapak Samari, jalanan di Desa Ngadiwono yang naik turun itu berupa batu koral kasar. Setelah ada program PNPM Pedesaan tahun 2014, mulailah dilakukan pembangunan sarana saluran irigasi air dan pemasangan paving blok jalan. Sehingga sekarang kondisinya sudah semakin membaik.[2]
Untuk kehidupan sosial masyarakat di Desa Ngadiwono termasuk harmonis dan memiliki toleransi yang sangat tinggi. Di sini terdapat Pura, Masjid dan Gereja. Masing-masing penganut agama saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
“Bahkan untuk acara-acara yang bersifat adat, mereka saling terlibat saling bantu membantu dengan memberikan bantuan baik berupa materi, tenaga dan fasilitas lainnya. Di Desa Ngadiwono selain adat tradisi yang bersumber dari ajaran agama, juga ada adat tradisi yang menjadi ciri khas leluhur daerah adat masyarakat Tengger,” ungkap S.[3]
Suku Tengger
Istilah Suku Tengger ini diambil dari nama Joko Seger dan Roro Anteng. Menurut penuturan Ibu PR (42 tahun),
“Diperkirakan Joko Seger dan Roro Anteng ini hidup di zaman Kerajaan Majapahit. Keduanya adalah pasangan suami istri yang sudah lama tidak dikaruniai anak. Lalu, mereka bertapa di puncak Kawah Gunung Bromo, meminta kepada Sang Brahmana untuk meminta anak. Kemudian Sang Brahmana mengabulkan keinginannya tersebut dan memberikan 25 anak. Anak terakhir yang bernama Raden Kusumo, dijadikan tumbal atau tebusan karena sesuai perjanjian antara Joko Seger dan Raden Anteng dengan Sang Brahmana,” tuturnya pada penulis.[4]
Selanjutnya, masyarakat Suku Tengger ini dalam rangka untuk memperingati penebusan tumbal Raden Kusumo tersebut, maka oleh masyarakat Desa Ngadiwono diperingati sebagai Hari Kasodo[5].
Dalam acara Kasodo, ada ritual membawa nasi buli(nasi kuning) dan nasi golong (nasi putih yang dikepel). Sebelum melarung sesaji, dilakukan dengan membaca mantera yang dipimpin oleh dukun. Sesaji yang mau dilarung itu berisi hasil bumi (sayur-sayuran) dan bahkan ada yang berupa kambing. Sesajen tersebut, selanjutnya dilempar kekawah Gunung Bromo. Tapi, bukan dilempar ke kawah paling dalam, namun cukup dilempar ke kawah bagian pinggirnya. Sebab, nantinya sesajen tersebut ada yang mengambilnya. Mereka yang mengambil sesajen ini disebut marit.[6]
Kehangatan Anglo
Rasa dingin terasa telah menyelimuti tubuh saya begitu menginjakkan kaki di Desa Ngadiworo. Fenomena kedinginan itu akan dirasakan siapa saja yang baru pertama kali berkunjung di desa ini. Namun, saya merasakan akan rasa kedinginan yang menyelimuti seluruh tubuh saya tersebut, akhirnya perlahan tapi pasti sirna berganti kehangatan berkat kehadiran anglo[7].
Lewat anglo ini, orang yang ada di sekitar pancarannya akan merasakan kehangatan. Kehangatan yang tercipta pun tidak hanya secara fisik. Namun, saya merasakan kebersamaan, keterbukaan, dan ada sebuah kehangatan secara psikologis dari komunikasi yang tercipta di antara mereka yang ada di sekitar anglo itu.
Hal tersebut, saya alami ketika tiba di rumahnya Bapak S (46 tahun), yang ditemani istrinya bernama PR (42 tahun), dan anak laki-lakinya bernama DS(14 tahun).
Pasangan suami istri ini bekerja sebagai petani. Mereka memiliki lahan kebun seluas sekitar 5 hektaran dengan aneka tanaman palawija seperti Kentang, Kubis, dan Wortel. Secara sosial ekonomi, kehidupan keluarga ini sangat berkecukupan. Rumahnya cukup besar dengan luas tanah saya taksir paling tidak ada 300 meter persegian dan bangunannya sekitar 150 meter persegian.
Rumah Bapak S ini, ada dua ruang tamu. Satu ruang tamu berada di dekat garansi mobil, dan yang satunya lagi berada di bagian dalam, yaitu ada di depan kamar tidur. Untuk di ruang tamu samping garasi, dilengkapi satu set kursi sofa model baru dan meja kaca. Sedangkan di beberapa dinding pada bagian dalam dipajang beberapa foto keluarga dan foto-foto acara hajatan mantenan[8]anak yang pertama.
Pada garansi rumah keluarga Samari ini, ada Mobil Isuzu Panther Grand Touring keluaran 2014, mobil pick up bak terbuka Mitsubishi L300, dan ada sebuah sepeda motor Honda serta satu motor trail untuk anaknya. Mobil Isuzu Panhter digunakan untuk acara-acara keluarga, seperti menghadiri undangan hajatan, atau keperluan lainnya yang jaraknya sangat jauh. Sedangkan mobil L300 digunakakan untuk kegiatan di ladang dan mengangkut hasil panen. Termasuk juga untuk mengirim barang dagangan ke kota-kota sekitar Pasuruan seperti Malang, Magetan, Surabaya dan Probolinggo.  
Keluarga Pak Samari ini sebagai penganut agama Hindu. Mereka menjadi penganut Hindu secara turun temurun sejak zaman nenek moyangnya. Pak Samari sendiri mengaku sebagai orang yang awam dalam hal agama, karena hanya lulus sampai SMP, sedangkan istrinya sekolah hanya sampai kelas tiga SD.  Keluarga Samari ini memiliki dua anak, SS (25 tahun) dan sudah menikah. Anak keduanya bernama DS (16 tahun) dan masih duduk di kelas 3 SMP.
DS, yang merupakan anak bungsu keluarga Samari ini memiliki hobi Cross Sepeda Motor, sejak kelas 6 SD. Oleh Bapaknya, S dibelikan sepeda motor cross dengan alasan karena orangnya pendiam. “Meski dia menginginkan sesuatu, Sandhika tidak pernah ngomong, sehingga saya tidak tega melihatnya dan akhirnya saya membelikan motor tersebut secara diam-diam. Tampa Sandhika mengetahuinya,” cerita Samari.
Selain memiliki hobi sepeda motor cross itu, Dana Sandhika juga rajin membantu ayahnya di kebun. Kalau sore dan malam hari kadang kala ia aktif mengikuti kegiatan kecrekan[9] di Pura yang ada di desanya.
Kesehatan Reproduksi Remaja
Sore yang dingin itu, ditemani hujan rintik-rintik yang membuat udara di rumah Bapak Samari semakin terasa dingin, saya menikmati obrolan seputar kesehatan reproduksi pada anak remaja, yaitu ponakan Bapak S yang bernama EDJ (17 tahun).
Ketika ditanya dari mana mendapatkan pengetahuan seputar kesehatan reproduksi, E ini mengungkapkan bahwa dia memperoleh pengetahuan itu sewaktu ada penyuluhan dari kakak-kakak yang tergabung dalam Laskar Pencerah Nusantara[10] yang berkunjung ke sekolahnya. “Saya mendapat pengetahuan tentang haid dan fungsi alat-alat reproduksi ini, selain dari para pencerah nusantara itu juga didapat dari temen-temen,” ungkap E terlihat malu-malu.[11]
Sejalan dengan E, yang merupakan remaja putri itu, DS (14 tahun) pun yang merupakan remaja laki-laki memberikan informasi pada saya, bahwa dirinya memperoleh pengetahuan seputar kesehatan reproduksi itu dari temen-temennya.
“Pada waktu pertama kali saya mimpi dan celana saya basah karena ada sesuatu yang keluar itu, saya tidak menanyakan kepada bapak sama ibu. Malahan saya besoknya bertanya sambil guyon pada temen-temen. Dan temen-temen menjawab berarti kamu itu sudah dewasa,” cerita Sandhika dengan nada suara yang pelan dan terlihat malu-malu.[12]  
Dalam mendapatkan pendidikan seks ini, anak-anak remaja di Desa Ngadiwono ini didapatkannya secara alami. Artinya, mereka para orangtua tidak mengajarkan kepada anak-anaknya tentang pengetahuan seks. Hal ini diakui oleh keluarga Samari.
“Orangtua saya tidak pernah mengajarkan bagaimana tentang hubungan seks. Termasuk bagaimana akibatnya bila laki-laki dan perempuan itu melakukan hubungan seks. Tahunya saya secara begitu saja. Tahu dari adanya kejadian orang yang hamil tapi belum menikah. Saya pun tidak pernah bercerita dan ngobrol masalah ini kepada anak-anak saya,” pengakuaan S.[13]
Berbicara seputar permasalahan kesehatan reproduksi, saya cukup miris dengan banyaknya kejadian remaja yang hamil dulu sebelum menikah. Hal ini seperti dituturkan Ibu PR (42 tahun), ibu dua orang anak berikut ini.
“Kalau di sini banyak perempuan yang hamil duluan sebelum menikah. Kejadian ini sudah biasa. Kalau di sini, asal pasangan yang hamil sebelum menikah itu dikawinkan sudah beres. Masyarakat sini tidak mempermasalahkannya. Kalaupun misalnya tidak diketahui siapa yang menghamilinya, maka dinikahkannya dengan Legen[14]. Sudah selesai masalahnya sampai di situ,” ungkap Ibu PR panjang lebar.[15]
Fenomena hamil sebelum menikah itu diakui oleh Bidan Desa, Septia Rahayu, Am.Keb. (26 tahun). Bidan Ayu, demikian dia biasa dipanggil oleh masyarakat ini sudah bertugas di Desa Ngadiwono selama 4 tahun lebih. “Di sini boleh dikatakan ada sebanyak 70-80% terjadi hamil sebelum menikah. Mereka terlihat biasa saja. Tidak ada beban moral apa-apa. Kalau sudah dinikahkan sudah selesai,” ungkap Bidan Ayu terlihat keheranan.[16]
Sedangkan terkait dengan sarana kesehatan, di Desa Ngadiwono ada Polindes dan Posyandu. Posyandu dilaksanakan tanggal 10 tiap bulannya di Polindes. Untuk kalangan lanjut usia, ada juga Posyandu Lanjut Usia. Posyandu ini dibuka setiap hari Jumat Legi. Alasan memiliih jumat legi, adalah dikarenakan tradisi masyarakat di Desa Ngadiwono ini setiap hari Jumat Legi, mereka istirahat dan tidak bekerja. Sehingga sebagian besar masyarakatnya bisa berperan serta dalam kegiatan posyandu tersebut.
Tanda-Tanda Hamil Sebelum Nikah (Pasanggiri)
Pasanggiri[17], bagi saya cukup menarik untuk dikaji terkait fenomena yang terjadi di Suku Tengger Desa Ngadiwono Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan ini. Alasannya, selain masyarakat di sini sebagian besar menganggap hal biasa bila terjadi kehamilan sebelum menikah. Hal lainnya adalah adanya fenomena yang dirasakan dan diakui masyarakat bila terjadi kehamilan sebelum menikah itu.
Secara umum di Suku Tengger Desa Ngadiwono ini, mengakui adanya Titi Luri Tengger[18], yaitu berupa karo (selamatan desa) dan unan-unan (kureban kerbo setiap 5 tahun sekali). Selain itu, pesen leluhur yang  juga harus dilakukan anak cucunya adalah berupa wologoro[19]dalam acara pernikahan.
Menurut Ibu Puji Rahayu (42 tahun), ada beberapa tanda-tanda ketika di lingkungan itu ada seorang yang hamil hasil hubungan sebelum nikah. Berikut ini, selengkapnya apa yang diungkapkan Ibu Rahayu itu.
“Biasanya kalau ada seseorang wanita yang hamil hasil hubungan sebelum terjadi pernikahan, banyak para ibu yang memiliki bayi dan balita itu mengeluh, kok awanya ngak enak ya…? (rasanya tidak enak ya?) Anak-anak banyak yang sakit batuk dan panas. Terus kalau waktu malam hari terdengar banyak anjing melolong,” papar Ibu PR.
Fenomena tersebut diakui Bidan Ayu, “Para ibu sering mengeluh tentang anak balitanya sakit panas dan batuk, bila ada orang hamil sebelum nikah,” kata Bidan Ayu mengiyakan adanya fenomena pasanggiri.
Lebih jauh, Ibu Bidan Ayu menjelaskan kenapa banyak remaja yang terjadi hamil sebelum nikah, diantaranya adalah pengaruh lingkungan.
“Masyarakat di sini, adanya remaja hamil sebelum menikah itu suatu hal yang biasa. Bahkan ada yang masih berusia 15 tahun sudah hamil sebelum menikah. Tidak ada sanksi sosial yang membuat jera orang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Artinya mereka yang hamil sebelum menikah itu telah dinikahkan, sudah selesai. Faktor lainnya, kondisi rumah yang mendukung, yaitu para orangtua yang kerja di kebun itu pulangnya sampai sore hari. Sehingga terjadinya hubungan seks anak remaja itu terjadi pada waktu-waktu tersebut,” tutur Ibu Bidan Ayu.

BACA JUGA:  Hidup Itu Keberkahan

[1] Hasil wawancara dengan Bapak Samari (46 tahun) di rumahnya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 7 April 2015.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Hasil wawancara dengan Ibu Puji Rahayu (42 tahun) di rumahnya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 8 April 2015.
[5] Hari kasodo dilaksanakan pada tiap tanggal 14 malam 15 bulan Agustus (setiap malam bulan Purnama).
[6] Marit ini bisa laki-laki dewasa, perempuan atau anak anak.
[7] Anglo adalah sebutan masyarakat Desa Ngadiworo untuk tungku api yang berisi bara api dari arang yang dibakar untuk menghangatkan tubuh seseorang.
[8] Acara pernikahan.
[9] Acara kecrekan adalah acara musik untuk para remaja Hindu di Pura.
[10] Laskar Pencerah Nusantara adalah program Kementerian Kesehatan yang melakukan pendidikan kepada masayarakat seputar kesehatan reproduksi.
[11] Hasil wawancara dengan Epita Dwi Jayanti (17 tahun) di rumah pamannya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 7 April 2015.
[12] Hasil wawancara dengan Dana Sandhika (14 tahun) di rumahnya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 7 April 2015.
[13] Hasil wawancara dengan Bapak Samari (46 tahun) di rumahnya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 7 April 2015.
[14] Legen itu adalah istilah untuk menunjukkan asisten dukun. Kalau dukun desa disebut dengan Romo Pandeta (tugasnya memimpin acara doa di Pura). Kalau yang disebut Romo Dukun itu adalah dukun yang bertugas memimpin acara adat tahunan.
[15] Hasil wawancara dengan Ibu Puji Rahayu (42 tahun) di rumahnya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 8 April 2015.
[16] Hasil wawancara dengan Bidan Septia Rahayu (26 tahun) di ruang prakteknya, Desa Ngadiwono RT. 1b Kec. Tosari Kabupaten Pasuruan, 8 April 2015.
[17] Pasanggiri ialah istilah yang umum di masyarakat Desa Ngadiwono untuk menyebutkan adanya tanda-tanda kalau di lingkungannya telah terjadi kehamilan sebelum menikah.
[18] Titi Luri Tengger ialah pesan orangtua dulu/leluhur Suku Tengger yang harus dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger.
[19] Wologoro ialah istilah temu manten yang dilakukan oleh kedua mempelai pada acara rentenan pernikahan di Suku Tengger Desa Ngadiwono.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!