Bahasa, Pikiran, dan Komunikasi
WRITING SKILLS MAP: BAHASA, PIKIRAN, DAN KOMUNIKASI
Oleh Hernowo Hasim
Menulis, bagi saya, berarti bermain-main dengan pikiran. Setiap kali memiliki keinginan dan mood menulis, saya senantiasa bertanya, “Hari ini, pikiran saya berisi apa ya? Apakah pikiran saya berisi sesuatu yang sangat menarik yang dapat saya ungkapkan secara tertulis? Berbeda tidak ya (dengan yang ada di kepala saya) begitu pikiran saya berhasil saya rumuskan secara tertulis? Apa yang dirasakan oleh pikiran saya ketika membaca tulisan-tulisan saya yang berisi pikiran saya?”
Dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba mengeksplorasi pikiran saya berkaitan dengan menulis. Tentu kemampuan/keterampilan menulis atauwriting skills tak hanya berkaitan dengan pikiran. Menulis juga berkaitan dengan bagaimana seseorang berkomunikasi secara baik. Dan, tentu saja, menulis berkaitan dengan bahasa. Apabila digambarkan dalam bentuk lingkaran, maka peta tentang writing skils itu dapat terdiri atas tiga bagian.
Bagian pertama, yang sangat dominan, yang mengisi hampir lima puluh persen dari peta atau lingkaran writing skills tersebut, pada umumnya, adalah bahasa. Tanpa menguasai kaidah-kaidah kebahasaan dengan baik dan benar serta tanpa kepiawaian menyusun kalimat, tentulah menulis menjadi omong kosong. Setelah porsi terbesar diisi bahasa, lima puluh persen sisanya dibagi dua antara pikiran (25%) dan komunikasi (25%).
Saya ingin memberikan catatan terlebih dahulu atas bagian komunikasi. Menulis berarti berkomunikasi menyampaikan sesuatu kepada diri sendiri maupun orang lain. Penulis yang bertindak sebagai komunikator sekaligus komunikan ini menyadari sekali bahwa pesan-pesan yang disampaikan secara tertulis kadang-kadang berbentuk secara abstrak alias tidak terlalu jelas dan perlu ditafsirkan.
Menurut Thomas Gordon, dalam bukuTeacher Effectiviness Training (khususnya dalam sub-bab yang sangat menarik berjudul “Apa Sebenarnya Komunikasi Itu”), berkomunikasi sejatinya adalah mengirimkan sandi. “Untuk mengomunikasikan apa yang kita rasakan di dalam (pikiran) atau apa yang menganggu kita, kita harus memilih sebuah sandi,” tulisnya.
Para ahli komunikasi kemudian menyebut proses penyandian itu sebagai encoding. Apabila sandi-sandi tersebut diterima oleh komunikan (si penerima pesan/sandi) maka akan terjadi proses decoding atau penguraian sandi. Ketika seseorang melakukan decoding, hasilnya dapat benar atau keliru alias tidak sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh sang komunikator (penulis).
Begitulah menulis. Seorang penulis menyampaikan pikirannya dalam bentuk sandi. Penyandian atau proses encoding dapat berupa kata yang jelas atau samar serta rangkaian kata yang harus dipecahkan (proses decoding) oleh komunikan (si penerima pesan atau pembaca teks). Inilah sebuah proses yang rumit karena tulisan tak hanya sebuah kata atau kalimat. Tulisan dapat berupa artikel pendek (terdiri atas 700 hingga 1.000 kata) dan dapat berupa pula sebuah buku (yang terdiri atas ribuan kata).
Nah, terkait dengan peta writing skills—yang berupa lingkaran dan terbagi atas tiga bagian tersebut—saya ingin menunjukkan kepada Anda tentang upaya saya membangun dan meningkatkan kemampuan atau keterampilan menulis saya. Saya bukanlah orang yang berlatar belakang pendidikan bahasa. Saya juga baru secara sangat serius membangun kemampuan menulis di usia lewat 40 tahun. Saya merasa tidak memiliki bakat menulis.
Upaya saya membangun dan meningkatkan writing skills adalah dengan dua cara: pertamamemperbesar wilayah pikiran hingga mencapai lima puluh persen sehingga bahasa hanya menempati wilayah 25% dan komunikasi 25%. Kedua dengan cara memperbesar wilayah komunikasi hingga mencapai 50% sehingga bahasa dan pikiran masing-masing hanya menempati wilayah sebanyak 25%. Bagaimana cara saya menggunakan 50% wilayah pikiran atau komunikasi untuk meningkatkan writing skills?
Saya akan menjelaskannya dalam tulisan-tulisan mendatang. Semoga bermanfaat dan menginspirasi Anda. Salam.