Bermain, Cara Anak Belajar Kehidupan
SETIAP saat kita harus memunculkan perasaan untuk lebih memperhatikan persoalan anak-anak. Salah satu yang patut kita sadari berkait dengan dunia anak-anak adalah “perlakuan” orang dewasa terhadap diri anak-anak yang dapat menghilangkan hakekat dunia anak-anak itu sendiri.
Menurut Sucipto Hadi Purnomo (1996), kini hilangnya dunia anak tidak hanya mengancam anak-anak jalanan, anak-anak pengungsian, dan anak-anak dari keluarga miskin. Karena kehadiran televisi, ancaman itu juga menimpa anak-anak dari keluarga maju dan berada. Lewat televisi, anak-anak dapat melihat dan menirukan apa saja yang dilakukan orang dewasa. Lewat televisi, anak-anak makin teriming-terimingi hal-hal yang sebenarnya hanya untuk orang dewasa. Lewat televisi pula, makin tiada sekat antara dunia anak dan dunia orang dewasa. Anak-anak menjadi matang sebelum waktunya.
Oleh karena itu, sadarkah kita kalau selama ini bahwa sedikit-banyaknya selera kita, selera anak-anak kita juga mulai ditentukan oleh pasar! Pernyataan itu mungkin terkesan bombastis. Tapi begitulah kenyataannya, ….ketika para orangtua disibukkan untuk memilih sekolah terbaik bagi buah hatinya. Kini para orangtua harus banting tulang untuk menanamkan investasi pendidikan bagi anaknya, mulai dari memilih TK (yang katanya favorit) atau SD (yang katanya banyak peminatnya), hingga SMP, SMU, atau PT yang kian melimpah. (Idi S.I.& Dede L.C.; 2002).
Fenomena seperti itu salah satu penyebabnya adalah karena kebijakan pemerintah dan orang tua yang diliputi oleh obsesi akan keberhasilan anak, secara sistematis anak-anak lantas tercetak menjadi sosok “kecil tapi komplet”, dan terenggutlah waktu bermain mereka. Sehingga sangat wajar peringatan yang dilontarkan oleh sosiolog Amerika Neil Postman, puluhan tahun yang silam, yang sudah mewanti-wanti tentang “hilangnya masa kanak-kanak” dalam dunia yang makin modern dan maju ini.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.