Berselancar di Dunia Hati (1)
ADAKAH yang lebih jujur dari kata hati, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan. Sungguh kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati.
Oleh: Arda Dinata
ADAKAH yang lebih jujur dari kata hati, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan. Sungguh kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati.
Sehingga pantas Imam Turmudzi mengatakan, “Hidupnya hati karena iman dan kematiannya karena kekufuran. Sehatnya hati karena ketaatan dan sakitnya hati karena terus-menerus mengerjakan kemaksiatan. Kesadarannya hati karena dzikir dan tidurnya hati karena kelengahan.”
Hati sendiri pada dasarnya merupakan tunas dari kedamaian. Dr. Ahmad Faried, menggambarkan bahwa hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Karena semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.
Jadi, betapa pentingnya kedudukan hati ini dalam kehidupan manusia. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita selama ini telah “berselancar” untuk betul-betul memahami dan memaknai keberadaan dunia hati ini?