Inspirasi

Cara Menyampaikan Kebenaran

(2) Mendengarkan dengan baik. Orang bijak mengatakan seorang pembicara yang baik, seharusnya adalah sebagai pendengar yang baik. Oleh karena itu, untuk dapat berkomunikasi dengan baik maka jadilah kita sebagai pendengar yang baik.

Banyak di antara kita yang tidak berhasil melakukan komunikasi secara produktif dan efesien disebabkan karena kita tidak mau memberikan perhatian kepadanya. Salah satunya, yaitu dengan menjadi pendengar yang baik.

Dalam hal ini, Hasan bin Ali ra pernah berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, jika engkau mengikuti pembicaraan ulama, hendaklah engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik, sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Dan janganlah kamu memotong pembicaraan seseorang meski panjang lebar, sehingga ia menyelesaikannya sendiri.”

(3) Menyampaikan/ berkomunikasi dengan cara yang baik. Pada dasarnya manusia itu menyukai yang baik-baik dan menyenangkan terhadap dirinya. Sebaliknya, ia membenci pada orang yang kasar lagi tidak menerapkan etika berbicara yang baik.

Dalam hal ini, sebenarnya Allah juga mencintai orang-orang yang mengasihi dan dikasihi. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu maha lembut, mencintai kelemahlembutan. Ia memberikan kepada kelemahlembutan sesuatu yang tidak diberikan kepada kekerasan dan yang tidak diberikan kepada lainnya.” (HR. Muslim).

Dalam keterangan lain, imam Al Ghazali pernah bercerita bahwa: Datanglah seorang lelaki kepada khalifah Al Ma’mun, menasehatinya dengan cara yang keras dan kasar. Al Ma’mun adalah seorang yang mempunyai fiqh cukup mendalam, maka diapun menjawab: “Wahai Fulan, berlemahlembutlah, sesungguhnya dahulu Allah pernah mengutus dua orang yang jauh lebih baik dari Anda kepada orang yang jauh lebih jahat dari saya. Tapi, Allah memerintahkan keduanya untuk berkata yang lembut. Dia mengutus Musa dan Harun yang jauh lebih baik dari Anda kepada Fir’aun yang jauh lebih jahat dari saya dengan wasiatnya: ‘Pergilah engkau berdua kepada Fir’aun. Sesungguhnya dia telah berbuat melampaui batas. Berkatalah kepadanya dengan kata-kata yang lembut semoga dia mau ingat atau takut.’ Dengan jawaban Al Ma’mun ini, maka laki-laki tadi terdiam tak mampu berkata sepatah kata pun.”

(4) Mengakui adanya perbedaan pendapat. Perbedaan itu adalah sunnatullah. Justru, dengan perbedaan itu maka hidup dan komunikasi dengan orang lain menjadi indah. Yakni bagi mereka yang mampu menjadikan perbedaan tersebut sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup bermasyarakat.

Untuk itu, dalam menyikapi adanya perbedaan tersebut yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita memahami etika berbeda pendapat dan berusaha untuk mempertemukannya. Allah dalam QS. An Nisaa: 59, telah membimbing kita ketika menjumpai perselisihan pendapat, yaitu: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya.”

(5) Melakukan tabayyun. Yakni perilaku seseorang dengan melakukan cek dan rechek terhadap sesuatu informasi yang akan ia sampaikan. Dalam QS. Al Hujurat: 6, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Akhirnya, seandainya kelima hal tersebut dilaksanakan oleh setiap manusia dalam melakukan komunikasi di masyarakat kita, maka kejadian berupa peradilan jalanan seperti yang terjadi di Kabupaten Majalengka itu, insya Allah tidak akan terjadi. Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!