Cinta Kasih dalam Mengikat Keluarga
ISLAM tidak melarang cinta kasih. Justru, Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung cinta pada sesama. Dalam Islam cinta demikian dihargai dan menempati posisi sangat terhormat, suci dan sakral. Islam sama sekali tidak alergi terhadap cinta. Islam mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia.
Secara psikologis, cinta merupakan emosi yang penting dalam kehidupan manusia. Cinta adalah faktor utama dalam membentuk keluarga dan mengikat individu-individu anggotanya agar saling membantu. Dalam dunia anak-anak, cinta ini mempunyai peranan sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang anak.
Menurut Dr. Muhammad ‘Utsman N (2005), secara umum cinta merupakan faktor penting dalam membentuk hubungan sosial yang harmonis di antara manusia. Cinta mengikat seseorang dengan keluarganya, masyarakatnya, dan tanah airnya. Cinta pula yang mendorongnya untuk mengorbankan harta dan jiwanya untuk membela keluarga, masyarakat, dan tanah airnya.
Lebih jauh, dalam Islam itu tidak menjadikan cinta sebagai komoditas yang rendah dan murahan. Cinta merupakan perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihanya dengan penuh gairah, lembut dan kasih sayang. Di Islam, cinta dibagi menjadi tiga tingkatan yang tersirat dari QS. At-Taubah: 24, “Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kerabat-kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kami khawatirkan kerusakannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu senangi lebih kau cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Dalam ayat tersebut menjadi jelas bahwa cinta tingkat pertama adalah cinta kepada Allah., Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya yang kemudian disebut dengan cinta hakiki. Cinta tingkat kedua adalah cinta kepada orang tua, isteri, kerabat, dan seterusnya. Sedangkan cinta tingkat ketiga adalah cinta yang mengedepankan cinta harta, keluarga dan anak isteri melebih cinta pada Allah, Rasul dan jihad di jalan Allah.
Cinta kepada Allah mempunyai peranan penting dalam kehidupan seorang mukmin. Cinta kepada Allah akan mengarahkan perilaku dalam kehidupannya, dan mempengaruhi perbuatan dan ucapannya. Ia tidak akan melakukan sesuatu selain yang diridhai Allah dan dapat memdekatkan dirinya kepada Allah.
Untuk itu, cinta kepada Allah semestinya menjadi pijakan semua tindakan mukmin. Ia merupakan kekuatan yang bisa mengarahkan perilaku manusia ke arah kebaikan. Pokoknya, cinta kepada Allah merupakan sumber utama semua rasa cinta seseorang pada segala sesuatu.
Dari sinilah, cinta hakiki itu akan melahirkan pelita. Cinta hakiki yang dilahrikan iman akan senantiasa memberikan kenikmatan-kenikmatan nurani. Cinta hakiki akan melahirkan jiwa rela berkorban dan mampu menundukkan hawa nafsu dan syahwat birahi. Cinta akan menjadi berbinar tatkala orang yang memilikinya mampu menaklukkan segala gejolak dunia. Cinta Ilahi akan menuntun manusia untuk hidup berarti.
Dalam banyak keterangan, kita menemukan kalau Islam memandang cinta kasih itu sebagai rahmat. Maka seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil mencintai saudaranya, laksana dia mencinta dirinya sendiri (HR. Muslim). Demikian juga, terkait dengan perumpamaan kasih sayang dan kelembutan seorang mukmin, Islam menyebutkan bahwa ia adalah laksana kesatuan tubuh. Jika salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka akan merasakan pula tubuh yang lainnya: tidak bisa tidur dan demam (Bukhari Muslim). Seorang mukmin memiliki ikatan keimanan, sehingga mereka menjadi laksana saudara (Al-Hujarat: 13). Dan cinta yang meluap, sering kali menjadikan seorang mukmin lebih mendahulukan saudaranya daripada dirinya sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan (Al-Hasyr: 9).
Akhirnya, tidaklah berlebihan, kalau dalam kaca mata Islam, disebutkan bahwa mencinta dan dicinta itu adalah “risalah” suci yang harus ditumbuhsuburkan dalam dada setiap pemeluknya. Makanya Islam menghalalkan perkawinan dan bahkan pada tingkat mewajibkan bagi mereka yang mampu. Islam tidak menganut “selibasi” yang mengibiri fitrah manusia. Sebab memang tidak ada rahbaniyah dalam Islam.
Untuk itu, letakkan secara benar makna cinta dan kasih sayang itu dalam kehidupan maupun gaya hidup setiap manusia. Dan bukan malah sebaliknya, kita justru terbawa dan meniru gaya cinta dan kasih sayang yang kamuflase lagi menyesatkan. Sebab, peniruan pada perilaku agama lain dan sekaligus melegalkan pergaulan bebas inilah yang tidak dibenarkan dalam pandangan Islam.
(Arda Dinata, pengasuh Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/MIQRA Indonesia).***
Anda ingin mendapatkan artikel seperti di atas, segera miliki Ebook:
“Perkawinan Berkalung Pahala: Pilar-pilar Menggapai Rumah Tangga di Bawah Naungan Cinta Menuju Surga Perkawinan”,
Anda berminat silahkan kirim Rp. 30 Ribu saja ke Bank:
Bank BNI Kantor Cabang Banjar.
Nomer Rekening: 0118657077 atas nama Arda Dinata.