Menyikapi Kondisi Sistem Kesehatan di Indonesia - www.ArdaDinata.com
Uncategorized

Menyikapi Kondisi Sistem Kesehatan di Indonesia

Menyikapi Kondisi Sistem Kesehatan di Indonesia
 
​ Oleh:
Arda Dinata
NIM:
16/403188/PKU/16006
Peminatan:
Kesehatan Lingkungan
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Tahun Akademik 2016/2017

Menyikapi Kondisi Sistem Kesehatan di Indonesia
PENDAHULUAN
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia harus sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Bangsa Indonesia yang telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Keberadaan pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan, di sini diperlukan dukungan adanya Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang tangguh. Apalagi dengan fenomena yang terjadi saat ini, kondisi Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar baik secara eksternal maupun internal.
Menurut Wiku Adisasmito, Phd dari Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) Universitas Indonesia menyebutkan kalau penyusunan SKN baru dimaksudkan untuk menyesuaikan SKN 1982 dengan berbagai perubahan dan tantangan eksternal dan internal, agar dapat dipergunakan sebagai landasan, arah, dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik oleh masyarakat, swasta maupun oleh pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) serta pihak-pihak terkait lainnya
Terbentuknya SKN baru mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan visi dan misinya, memantapkan kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif, meningkatkan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu, serta meningkatkan investasi kesehatan untuk keberhasilan pembangunan nasional.
SKN baru merupakan acuan dalam menerapkan pendekatan pelayanan kesehatan primer yang secara global telah diakui sebagai pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi semua, yang untuk Indonesia diformulasikan sebagai visi Indonesia Sehat.
Terkait kondisi sistem kesehatan di Indonesia harus diakui bahwa kondisinya masih belum tertata dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dari penyelenggaraan upaya kesehatan belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Belum lagi penyelenggaraan upaya kesehatan promotif dan preventif masih kurang, jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum memadai, penyebaran sarana dan prasarana kesehatan belum merata di seluruh Indonesia. Demikian juga adanya potensi pelayanan kesehatan swasta dan upaya kesehatan berbasis masyarakat yang semakin meningkat, belum didayagunakan sebagaimana mestinya. Di sini keterlibatatan pihak dinas kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan keterkaitannya dengan pelayanan rumah sakit sebagai sarana rujukan masih dirasakan sangat kurang.
Secara keseluruhan masyarakat merasakan derajat kesehatan belum memuaskan. Angka Kematian Bayi (50/1000 kelahiran hidup) dan Angka Kematian Ibu (373/10.000 kelahiran hidup) masih tinggi. Belum lagi kondisi umur harapan hidup masih rendah, yaitu rata-rata 66,2 tahun (tahun 1999). Kondisi tersebut berakibat pada masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia, yaitu pada urutan 112 dari 175 negara (UNDP, 2003).
Fakta-fakta tersebut hanyalah sebagian dari potret dan gambaran dari kondisi kesehatan yang ada di Indonesia. Inilah yang menjadi latar belakang dan tantangan dalam menyikapi dan membenahi terhadap kejelasan arah kebijakan sistem kesehatan di Indonesia.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di awal paper tersebut, lalu yang menjadi permasalahan yang akan diskusikan untuk mencari jalan keluarnya adalah: “Bagaimana kondisi sistem kesehatan di Indonesia?”
DISKUSI
Dalam acara kuliah perdana program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Tahun Akademik 2016/2017 dengan tema “Tantangan Penguatan Sistem Kesehatan di Indonesia”, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D, mengungkapkan bahwa terkait kejelasan arah kebijakan sistem kesehatan di Indonesia saat ini kondisinya masih buruk. Dalam arti lain, kondisinya belum tertata dengan baik.
Lebih jauh Laksono Trisnantoro menuturkan ada 5 hal terkait sistem kesehatan di Indonesia yang belum tertata dengan baik, yaitu: Pertama, terkait komponen pembiayaaan. Kedua, masalah manajemen/ pengorganisasian. Ketiga, data penyakit yang ada di BPJS belum digunakan oleh kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Keempat, masalah regulasi. Kelima, masalah perilaku manusia. 
A.    Pembiayaan Kesehatan
Terkait masalah pembiayaan kesehatan, dalam catatan Wiku Adisasmito, Phd dari Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) Universitas Indonesia menyebutkan kondisinya masih rendah, yaitu rata-rata 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau rata-rata antara USD 12-18 per kapita per tahun.
Sedangkan anjuran WHO adalah paling sedikit 5% dari PDB per tahun. Sementara itu, 30% pembiayaan bersumber dari pemerintah, dan 70% bersumber dari masyarakat termasuk swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif.
Secara rinci, Wiku Adisasmito, menuliskan terkait mobilisasi sumber pembiayaan dari masyarakat masih terbatas serta bersifat perseorangan (out of pocket). Adapun jumlah masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas (kurang dari 20%). Sedangkan terkait dengan metoda pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh pembayaran tunai, sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan.
Aspek lainnya adalah terkait penerapan teknologi canggih dan perubahan pola penyakit sebagai akibat meningkatnya umur harapan hidup akan mendorong meningkatnya biaya kesehatan. Begitu pun kondisi tingginya angka kesakitan berdampak terhadap biaya kesehatan yang akan memperberat beban ekonomi. Sementara itu, anggaran pembangunan berbagai sektor lain belum sepenuhnya mendukung pembangunan kesehatan.
B.     Manajemen/ Pengorganisasian
Saat ini di Indonesia terdapat kekurangan akut dalam hal jumlah spesialis yang merupakan paradoks dalam sistem pelayanan kesehatan. Dalam konteks paradoks, menurut Laksono Trisnantoro (2006), sistem pelayanan kesehatan diharapkan sebagai sektor sosial yang penuh nilai kemanusiaan, namun sekaligus dipengaruhi oleh hukum pasar. Keduanya dapat bertentangan.
Sebagai gambaran paradoks ada kenyataan bahwa semakin besar kekuatan ekonomi di suatu wilayah, maka semakin banyak tersedia dokter spesialis. Sementara itu, dihubungkan dengan persentase penduduk miskin justru didapatkan hasil hubungan yang negatif. Semakin banyak masyarakat miskin, maka semakin sedikit jumlah spesialis. Derajad asosiasi sekitar 0.9. Sebagai gambaran timpangnya penyebaran, data IDAI (2005) menunjukkan bahwa jumlah dokter spesialis anak (Sp.A) di DKI Jakarta adalah 443 (5.29 Sp.A per 100.000 penduduk) sementara di Provinsi Papua hanya 7 (0.32 Sp.A per 100.000 penduduk).
Dengan demikian, dapat diatakan secara umum jumlah SDM kesehatan belum memadai. Rasio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk masih rendah. Begitu pun dengan kondisi penyebaran SDM kesehatan belum menggembirakan. Belum lagi kondisi mutu SDM kesehatan masih membutuhkan pembenahan.
Lebih jauh, menurut Wiku Adisasmito, untuk sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan berjenjang dan berkelanjutan, akreditasi pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi, registrasi dan lisensi SDM kesehatan belum mantap.
Yang mana, kondisi sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi SDM di Indonesia belum mencakup aspek profesionalisme. Kerjasama lintas program, lintas sektor dan dengan organisasi profesi serta LSM dalam pengembangan tenaga kesehatan masih terbatas.
C.    Data Penyakit
Pada saat ini ada hal-hal yang belum dimaksimalkan pengunaannya dalam membangun sistem kesehatan di Indonesia, diantaranya adalah terkait misalnya adanya data penyakit yang sudah dihimpun oleh BPJS berdasarkan data penyakit yang dikeluhkan oleh masyarakat. Artinya keberadaan data penyakit yang ada di BPJS itu, seharusnya dapat dimaksimalkan dalam penyusunan program kerja bidang kesehatan yang sesuai dengan kondisi penyakit yang sering atau paling banyak diderita oleh masyarakat.
Dengan demikian, kalau merujuk pada permasalahan penyakit yang diderita masyarakat di daerah tersebut, maka program perioritas yang masuk dalam pembangunan kesehatan tersebut tentu menjawab dan menyelesaikan permasalahan gangguan kesehatan yang paling sering dikeluhkan atau diderita oleh masyarakat tersebut.
Atas dasar itu, diharapkan program kesehatan yang dilakukan di daerah tersebut memberi daya ungkit kebermanfaatan secara langsung dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada di wilayah tersebut. Hal ini akan berdampak luar biasa terhadap pengakuan program kesehatan yang dilakukan oleh lembaga layanan kesehatan yang ada di daerah tersebut.
D.    Regulasi
Masalah sistem kesehatan yang tidak kalah menarik untuk dibenahi adalah menyangkut tentang regulasi pengaturan dan pengawasan kegiatan program kesehatan yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu terkait regulasi dalam bidang kesehatan adalah menyakut sumber daya obat dan perbekalan kesehatan.
Dalam catatan Wiku Adisasmito, dari Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) Universitas Indonesia menyebutkan industri farmasi di Indonesia sebanyak 198 buah, terdiri dari 34 PMA (Perusahan Milik Asing), 4 BUMN, 160 PMDN/Swasta Nasional. PBF berjumlah 1.473 buah, apotek 6.058 buah dan toko obat 4.743. Sedangkan terkait mutu industri farmasi telah distandarisasi dengan ditetapkannya cara pembuatan obat yang baik (COPB).
Untuk menunjang upaya kesehatan, terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah, telah ditetapkan kebijakan obat generik yang mencakup 220 jenis obat. Sedangan terkait masalah dalam bidang kefarmasian, obat, sediaan farmasi, alat kesehatan, vaksin, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT), insektisida, dan reagensia adalah yang menyangkut ketersediaan, keamanan, manfaat, serta mutu dengan jumlah dan jenis yang cukup serta terjangkau dan mudah diakses masyarakat.
Selanjutnya regulasi terkait proses pengawasan perbekalan dan alat kesehatan sejak dari produksi, distribusi sampai dengan pemanfaatannya belum dilakukan dengan optimal. Sedangkan pengadaannya untuk sarana kesehatan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan.
E.     Perilaku Manusia
Aspek lain yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk pemebanahan sistem kesehatan Indonesia ialah menyakut aspek pemberdayaan masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari masalah perilaku manusia dalam bidang kesehatan itu sendiri.
Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia, harus diyakini dan diakui bahwa kondisi tersbut tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat banyak didirikan, antara lain dalam bentuk Posyandu (sekitar 240.000 buah), 33.083 Polindes, 12.414 Pos Obat Desa, 4.049 Pos Upaya Kesehatan Kerja.
Dalam pembiayaan kesehatan komponen tersebut, ternyata komponen pemberdayaan masyarakat diwujudkan melalui bentuk dana sehat yang berjumlah 23.316 serta berbagai yayasan peduli dan penyandang dana kesehatan.
Selanjutnya, dalam konteksi ini pola pemberdayaan masyarakat yang dilakukan bisa dalam bentuk pelayanan, advokasi kesehatan, serta pengawasan sosial dalam program pembangunan kesehatan. Sebab pola-pola tersebut masih belum banyak dilaksanakan secara maksimal. Termasuk menyangkut jaringan kemitraan antara sektor pemerintah dan swasta belum dikembangkan secara optimal.
PENUTUP
Sebagai catatan akhir dari diskusi pembahasan tema menyikapi kondisi sistem kesehatan di Indonesia ini, tentu tidak lain adalah terkait masalah manajemen kesehatan secara keseluruhan.
Dalam hal ini, keberhasilan manajemen kesehatan sangat ditentukan antara lain oleh tersedianya data dan informasi kesehatan, dukungan kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi kesehatan, dukungan hukum kesehatan, serta administrasi kesehatan.
Untuk pola pendekatan yang terus dikembangkan adalah terkait dengan sistem informasi manajemen kesehatan, antara lain mencakup: sistem informasi manajemen Puskesmas (SIMPUS), sistem informasi manajemen kepegawaian (SIMKA), sistem survailans penyakit menular, sistem survailans penyakit tidak menular, serta sistem jaringan penelitian dan pengembangan kesehatan nasional (JPPKN).
Pada konteks kekinian, yaitu dengan berlakunya kebijakan desentralisasi berbagai sistem informasi ini perlu ditinjau dan ditata ulang. Apalagi penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan telah dilaksanakan sesuai dengan perkembangan. Penerapan tersebut diutamakan pada IPTEK tepat guna untuk pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) serta IPTEK canggih untuk pelayanan kesehatan rujukan.
Termasuk didalamnya menyangkut aspek hukum kesehatan terutama yang menyangkut upaya kesehatan masyarakat secara bertahap telah dikembangkan. Tidak ketinggal adalah bidang administrasi kesehatan, yang mencakup perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan kesehatan di berbagai tingkat dan bidang harus terus dikembangkan sesuai kebutuhan di masyarakat. Sehingga akhirnya, diharapkan tercipta sistem perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT).
REFERENSI
Ilyas Y. Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta 2006; 09(03)/ September: 145-54.
Laksono Trisnantoro. Kejelasan Arah Kebijakan Sistem Kesehatan di Indonesia. Acara Kuliah Perdana Program Studi S2 IKM Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta; 3 September 2016.
Laksono Trisnantoro. Percepatan Pendidikan Dokter Spesialis: Salah Satu Cara Penting Untuk Mengatasi Masalah Pemerataan Pelayanan Kesehatan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta 2006; 09(03)/ September: 107-108.
Wiku Adisasmito. Sistem Kesehatan Nasional. Departemen AKK FKM Universitas Indonesia. Jakarta.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!