Nilai Kemabruran Haji
KAUM Muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji, tentunya kita harapkan menjadi haji mabrur. Doa ini penting kita panjatkan karena semua jamaah haji tentu mendambakan haji mabrur. Harapan dan keinginan mendapatkan haji mabrur dapat dipahami, karena bukankah pengampunan dan surga Allah menjadi balasan dan imbalannya. Nabi Saw bersabda, Haji yang mabrur tak ada balasan lain kecuali surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh: Arda Dinata
Mereka yang telah menggapai haji mabrur, tentu akan memancarkan berbagai kebaikan sosial dalam kehidupan kesehariannya, diantaranya, ialah memiliki peningkatan rasa persaudaraan di antara umat, karena saling berkenalan dan berkomunikasi dengan jamaah haji dari segala penjuru dunia, menumbuhkan rasa hormat menghormati dan mengalahkan rasa rendah diri, karena di sanalah jamaah haji akan menyadari kesamaan derajat di hadapan Allah SWT.
Selain itu, kemabruran ibadah haji juga ditandai oleh tanggung jawab dakwah Islamiyah yang tinggi, baik bil lisanil hal maupun billisanil maqal. Hal ini sesuai pesan Rasul saat haji Wada’, yaitu supaya setiap yang hadir wajib menyampaikan ajaran Islam kepada yang tidak hadir. Demikian pula dengan tanggung jawab dalam memelihara jiwa, harta, kehormatan dari orang lain, melindungi yang lemah baik manusia, heman dan tumbuh-tumbuhan.
Pendeknya, haji mabrur berarti haji yang baik atau mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Di kalangan ulama, diungkapkan kalau haji mabrur itu ialah haji yang tidak dicampuri atau dinodai oleh dosa-dosa. Ini mengandung makna bahwa berbagai kebaikan ibadah haji yang diperoleh oleh para hujjaj itu telah membentengi diri mereka dari dosa-dosa dan berbagai tindakan kejahatan.
Berkait dengan itu, Imam Nawawi, mengungkapkan bahwa haji mabrur adalah haji yang buah atau hasilnya tampak jelas bagi para pelakunya. Buah haji itu, tak lain menguatnya iman dan meningkatnya ibadah serta amal saleh dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, maka keadaan hujjaj itu setelah menunaikan ibadah haji jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Memelihara dan melanggengkan nilai keimanan
Berdasarkan pola pikir yang diungkapkan Imam Nawawi tersebut, tentu dapat dipahami bahwa memperoleh haji mabrur merupakan sesuatu yang sulit. Namun, sesungguhnya yang lebih sulit lagi dari itu adalah bagaimana mempertahankan, memelihara dan melanggengkan nilai-nilai kemabruran haji itu sepanjang hidup kita.
Oleh karena itu, kemabruran haji ini tentu perlu senantiasa dipelihara, karena kondisi batin seseorang tidaklah tetap. Tapi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya. Tepatnya, suatu saat kadar iman tinggi, di lain waktu kadar iman menjadi menurun.
Ketinggian dari nilai iman ini, tentu banyak tantangan untuk mempertahankannya dalam kehidupan manusia. Lebih-lebih saat ini, berbagai serbuan media dan informasi banyak yang dapat melemahkan kekuatan iman seseorang. Artinya derajat dan tingkatan iman setiap orang berbeda-beda. Jelasnya, fluktuasi iman seseorang itu akan terjadi setiap saat.
Kondisi seperti itulah yang banyak kita lupakan. Di sinilah sebenarnya perlunya upaya memperbaharui keimanan kita setiap saat. Memperbaharui keimanan (Tajdidul Iman), diartikan sebagai bentuk kompensasi kita —usaha untuk mempertahankan kestabilan iman— dan mengontrol kadar iman yang kita miliki serta meningkatkan kualitas imannya.
Untuk mencapai kondisi iman yang relatif stabil itu, memang bukan sesuatu yang mudah. Walau demikian, bagi Allah tentu tidak ada yang tidak mungkin, kalau cinta-Nya telah bersemayam pada diri kita. Setidaknya ada empat usaha yang dapat membangkitkan/melanggengkan nilai keimanan seseorang (terutama setelah menggapai haji mabrur), sehingga Tajdidul Iman tersebut menjadi terarah.