Membaca itu mengkayakan pengetahuan dan pengalaman bagi kita. Untuk itu, biasakan membaca setiap saat dan menuliskan apa yang kita baca.
Kali ini, saya akan bagikan tulisan yang cukup memberi inspirasi dan mencerahkan bagi siapa pun yang ingin belajar menulis untuk diterbitkan pada jurnal internasional dari saudara Zezen Zaenal Mustaqin.
Terus terang saya mendapatkan banyak inspirasi dan motivasi dari pengalamannya menulis di jurnal internasional. Berikut ini saya tulis ulang selengkapnya dari tulisan tersebut yang saya dapatkan dari blog pribadinya di: http://ang-zen.com/
.
BAGIAN I
Akhir-akhir ini saya sering diminta saran bagaimana bisa menulis dan mempublikasi sebuah tulisan di jurnal, baik nasional maupun internasional. Saya juga sebenarnya masih belajar. Saya baru bisa menerbitkan 5 tulisan di jurnal internasional (semua terindex Scopus dan SSCI), 1 tulisan di Indonesia (Indonesian Journal of Constitutional Review, terbitan MK), 1 tulisan di jurnal Korean Red Cross dan satu lagi di sebuah jurnal baru di New Zealand. Jadi total baru 8 jurnal dalam kurun waktu 7 tahun, dari 2011 sampai 2018. List lengkap tulisan saya bisa dilihat di tautan ini. Ada satu novel dan satuedited volume buku yang juga terbit dalam kurun waktu itu. Dengan berbekal pengalaman itu saya punya modal minimal untuk berbagi pengalaman dalam urusan ini.
Saya yakin kawan-kawan sudah mengetahui tips dan trik, atau saran bagaimana menulis. Jadi anggap saja ini tambahan dari apa yang sudah anda ketahui. Agar mudah, saya akan menyusunnya dengan model pointers.
Menulis adalah kebiasaan
Menulis adalah proses bertahap yang terbentuk dalam waktu yang cukup lama. Tidak ada satu orang penulispun yang menulis dan menerbitkan karyanya dalam waktu seketika. Saya mulai menulis sejak SMP. Dulu menulis di buku harian dengan tema apa saja. Banyaknya cerita tentang cinta monyet dan rasa cemburu. Kebiasaan itu sampai sekarang tidak berubah. Hanya mediumnya saja yang berbeda: dulu buku harian, sekarang menulis di blog seperti apa yang sekarang anda baca ini. Menulis jurnal internasional yang rata-rata panjanganya 8000-12000 kata, adalah tulisan panjang yang harus dikerjakan minimal satu atau dua bulan (setidaknya dalam pengalaman saya). Tanpa kemampuan dasar menulis yang dibangun dari kebiasaan, sangat sulit rasanya memulai menulis jurnal. Jadi, jika ingin menulis di jurnal, biasakanlah menulis mulai sekarang juga. Menulis tentu saja bisa banyak manifestasinya: menulis proposal, tugas kantor, laporan penelitian, catatan harian dan lain-lain. Semua itu mempunyai sumbangsih bagi kemampuan kita mengekspresikan fikiran dengan baik, stylist, dan tersetruktur.
Menulis yang baru atau menulis yang kita tahu?
Idealnya kita menulis sesuatu yang kita ketahui dengan baik dan kita ahli dibidangnya serta pada saat yang bersamaan bidang itu baru dan belum banyak ditulis orang. Jika kondisi ideal itu terpenuhi, maka pertanyaan ini menjadi tidak penting lagi. Tapi pada banyak kesempatan kita merasa ahli sekali dibidang kita, tetapi sepetinya hampir tidak ada yang baru yang kita bisa tuliskan. Semua sudah ditulis orang! Itu perasaan normal orang yang bergelut dibidang tulis menulis. Kita bingung mau menulis apa lagi. Solusi untuk persoalan itu sebagian akan saya sampaikan di point selanjutnya, tapi cukup di sini saya sampaikan satu hal penting: menempuh dan membuka jalan baru lebih sulit, tapi pada saat yang sama kesempatannya lebih besar. Ketika saya menulis perbudakaan modern dan perdagangan manusia dalam industri perikanan di Asia Tenggaara, terutama di Thailand, saya memulainya dari nol. Itu sepenuhnya bidang baru untuk saya. Saat memulai prokey penulisan itu, saya meniatkan untuk mendorong diri saya jauh ke luar batas zona nyaman. Bahan-bahan di bidang ini belum banyak. Sebagian hanya laporan NGO dan berita. Sedikit sekali, atau hampir tidak ada artikel junal tentang temap khusus ini. Tapi ketika tulisan itu selesai dan saya kirimkan ke dua jurnal, semuanya menerima tulisan saya. Bahkan saya menarik tulisan karena permintaan Asian Journal of International Law, jurnal yang cukup bergengsi, untuk memotong lebih setengahnya tulisan yang saya kirimkan sayan anggap terlalu berlebihan. Saya lebih memilih menerbitkannya di junal lain meski gengisnya dibawah jurnal itu, tetapi mau mengakomodai utuh tulisan saya. Ketika saya menulis tentang Madraisme dan Agama Jawa Sunda tahun 2014, hampir tidak ada tulisan itu dalam jurnal internasional. Artinya kesempatan menerbitkan sesuatu yang relatif baru lebih terbuka meski prosesnya lebih sulit (risetnya lebih berat dan harus lebih bersabar serta jeli).
Apa itu orisinalitas?
Kita selalu dibilang agar menulis secara orisinil. Tentu saja pernyataan itu benar adanya. Tapi kita kadang tidak tahu harus bagaimana menjadi orisinil. Bukankah hampir semua yang kita ketahui sudah ditulis orang? Lalu dimana kita bisa mengambil kesempatan manggung? Dalam pengalaman saya, orisinalitas saya maknai semata sebagai koherensi. Artinya, selama kita menyodorkan sebuah argumen dan argumen itu kita pertahankan secara koheren dengan dukungan data dan informasi, maka kriteria orisinalitas itu sudah terpenuhi. Orisinal itu bisa juga dimaknai dengan menyodorkan sebuah fakta dan temuan baru, atau bisa juga membaca ulang, mem-
frame ulang dan melihat data lama dari sudut pandang baru. Tulisan terbaru saya tentang Budaya, Feminisme Islam dan Tuntutan Perubahan Hukum di Indonesia adalah upaya saya melihat data lama dalam cara pandang baru. Saya melihat UU Pernikahan 1/1974 dan
Counter Legal Draft dalam bingkai gerakan sosial dan teori perubahan hukum. Dan tulisan itu mejadi tulisan lead (halaman pertama) untuk edisi terbaru
Asian Journal of Women’s Studies.
Jangan takut beragumen
Kelemahan orang Indonesia itu biasanya takut beragumen. Kalau kita menulis dan tidak mempunyai argumen (semata kutip sana dan kutip sini), berat sekali kemungkinan tulisan kita dimuat di jurnal. Jadi, jangan takut berargumen meski konyol sekalipun. Semakin ‘konyol’ sebuah argumen, semakin menarik bagi editor, asal kekonyolan itu didukung oleh argumen dan data.
Jangan takut menulis personal
Ketika belajar menulis ilmiyah saat S1 di kampus UIN Ciputat dulu, saya selalu dibilang agar menghindari menulis secara personal. Bahkan, kata ‘saya’, atau ‘I’ disuruh diganti dengan kata ‘Penulis’ atau ‘the author’. Setelah menempuh perjalanan lumayan panjang dalam bidang tulis-menulis, saya mempunyai pengalaman sebaliknya: menulis justru harus melibatkan aspek subjektivitas pengarang. Pengarang harus bergulat dengan tulisan dan argumen yang dibangunnya dan tidak perlu terlampau jauh mengambil jarak. Jangan takut memakai kata ‘I’ (saya) dalam mengekspresikan argumen kita. Biasanya dengan lebih personal, tulisan kita bisa lebih kaya, subur dan mengalir, tidak kering-kerontang. Karena itu, penulis jurnal yang baik harus banyak membaca novel atau karya fiksi untuk membantu menghaluskan dan menghidupkan tulisan. Tapi, ada satu catatan kecil: too personaljuga tidak baik. Ada porsi cerita yang sangat menarik di tulisan terbaru saya tentang kisah ibu saya yang bekerja sebagai penjahit yang mencari nafkah agar anak-anaknya bisa sekolah. Setelah tarik-menarik dan diskusi dengan editor, akhirnya porsi cerita itu dipotong karena dianggap terlampau personal. Jadi, tulisan personal itu baik, tapi jangan too personal
Mulai dengan sketsa pikiran
Ketika merumuskan apa yang akan saya tuliskan, saya selalu memulainya dengan sketsa pikiran atau peta pikiran. Untuk itu saya banyak dibantu oleh
aplikasi-aplikasi yang banyak tersedia, baik berbayar maupun gratis. Gunakanlah alat bantu itu untuk menurunkan semua isi pikiran ke dalam medium ini agar nanti kita bisa tindak lanjuti. Jika mempunyai satu dua kalimat bagus yang tiba-tiba terpikirakan untuk sebuah ekspresi, langsung tulisakan juga di medium itu atau medium lain.
Mind mapping ini menjadi kompas dan alat navigasi agar tulisan kita bisa lebih tersturktur. Bagusnya, aplikasi yang banyak tersedia bisa dengan mudah memodifikasi ide-ide kita sesuai perkembangan riset. Jadi, pakai
mind mapping tools untuk memformulasikan tulisan kita.
Hindari plagiarisme
Hindari plagiarisme! Ini penting karena disamping secara etik hal ini tidak diperkenankan, secara teknis plagiarisme biasanya akan terdeteksi oleh editor, terutama jika jurnal yang kita target adalah jurnal kredibel. Lain soal jika jurnal itu ‘abal-abal’. Caranya bagaimana menghindari palgiarisme? Pengalaman saya begini: ketika membaca dan riset untuk kepentingan tulisan itu, kita harus biasakan membaut catatan. Buatlah judul tulisan dan pengarang serta penerbit di dalam setiap judul catatan kita. Lantas, pada setiap point-point penting yang kita catatkan, jangan sekali-kali menyalin utuh (copy and paste) tulisan pengarang dalam catatan kita. Sepertinya mudah mengcopy-paste informasi penting dari tulisan pengarang dalam PDF ke dalamnote kita. Tapi ini bisa berbahaya jika ketika kita menulis kita menyalin kembali catatan kita ke dalam artikel. Sejak awal kita harus memparafrasa kata-kata. Atau, kalau mau aman dan bahasa Inggris anda sudah bagus, ketika membuat catatan dari tulisan berbahasa Inggris, tuliskan saja ide-ide dan catatan kita dalam bahasa Indonesia. Sehingga ketika nanti menulis dan kita mencontek catatan kita, kita hanya mencontek ide, bukan ide dan ekspresi pengarang yang kita rujuk. Tentu jangan lupa mencantumkan setiap rujukan dalam tulisan kita.
Salam dari Los Angeles!#
Semoga tulisan dari saudara Zezen Zaenal Mustaqin di atas memberi inpirasi dan manfaat bagi banyak orang. Dan semoga Zezen Zaenal Mustaqin sukses selalu dan ditunggu share ilmu menulisnya. Aamiin.
www.ArdaDinata.com:
| Share, Reference & Education |
| Peneliti, penulis, dan motivator penulisan di media massa |
Blog: http://www.ardadinata.com/
FB: ARDA DINATA
Twitter: @ardadinata
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata
.
|
Inilah Koleksi Ebook Karya Arda Dinata |
Pingback: Yuk Belajar Bagaimana Cara Menulis dan Mempublikasi Tulisan di Jurnal Internasional? (2) – www.ArdaDinata.com