
Oleh: Arda Dinata
“Dalam genggaman teknologi, jiwa anak-anak kita mencari cahaya penuntun. Bukan sekadar batasan, tetapi kebijaksanaan yang menerangi jalan mereka di rimba digital.”
Senja itu, seorang kakek duduk bersama cucunya di beranda rumah kayu sederhana. Si cucu, Andi, asyik memainkan sebuah tablet pemberian orang tuanya. Matanya tak lepas dari layar berpendar, sementara jemarinya dengan lincah menggeser dan mengetuk permukaan kaca itu. Sang kakek hanya tersenyum mengamati.
“Kek, lihat! Aku bisa membuat istana virtual ini dalam waktu lima menit saja,” kata Andi bangga.
Kakek mengangguk pelan, lalu mengambil segenggam tanah dari pot bunga di sampingnya. “Andi, coba kamu buat istana dari tanah ini.”
Andi mengerutkan dahi, menatap tanah di tangan kakeknya dengan heran. “Tapi Kek, itu kotor dan sulit. Di tablet, aku bisa membangun istana megah dengan sekali klik.”
“Justru di situlah letak perbedaannya, Nak,” ujar sang kakek bijak. “Istana virtualmu memang megah dan instan, tapi istana tanah membutuhkan kesabaran, kreativitas, dan perjuangan. Keduanya punya nilai berbeda. Sama seperti pengetahuan—ada yang instan dari internet, dan ada yang dibangun perlahan melalui pengalaman langsung.”
Kisah sederhana ini menggambarkan dilema yang dihadapi oleh orangtua masa kini. Di era digital yang serba cepat dan instan, bagaimana kita membangun fondasi pendidikan karakter yang kokoh bagi anak-anak kita? Teknologi digital membuka jendela pengetahuan seluas samudra, namun juga menghadirkan tantangan mendidik yang belum pernah kita hadapi sebelumnya.
Menurut survei terbaru dari Common Sense Media (2023), anak-anak usia 8-12 tahun menghabiskan rata-rata 5,5 jam sehari di depan layar digital untuk hiburan, sementara remaja 13-18 tahun mencapai 8,5 jam—angka yang meningkat drastis pascapandemi. Kita hidup di era di mana anak-anak lebih dulu mengenal avatar digital sebelum mengenal tetangga sebelah rumah, dan lebih fasih bermain game online daripada bermain congklak atau petak umpet.
Profesor Howard Gardner dari Harvard University, pencetus teori kecerdasan majemuk, dalam bukunya “App Generation” (2022) mengemukakan bahwa teknologi digital telah mengubah cara anak-anak berpikir dan bertindak. “Generasi aplikasi ini terbiasa dengan solusi instan dan terstruktur, sehingga kemampuan pemecahan masalah kreatif dan improvisasi mereka cenderung tereduksi,” tulisnya. Ini bukan sekadar perubahan kebiasaan, tetapi transformasi mendalam pada arsitektur kognitif anak-anak kita.
Lalu, apakah kita harus menarik anak-anak dari kehidupan digital? Tentu tidak semudah itu. Psikolog anak Dr. Yeni Rachmawati dari Universitas Pendidikan Indonesia menekankan pentingnya “kebijaksanaan digital” dalam pendidikan karakter era kini. “Orangtua perlu menjadi jembatan antara dunia digital dan nilai-nilai kehidupan nyata. Bukan melarang teknologi, tetapi mendampingi anak mengintegrasikan teknologi dengan kebijaksanaan,” ungkapnya dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter 2023.
Kebijaksanaan digital ini menjadi kunci—bukan sekadar literasi digital yang berfokus pada keterampilan teknis, tetapi pemahaman mendalam tentang bagaimana menggunakan teknologi secara bermakna dan bertanggung jawab. Ini melibatkan empat pilar yang saya formulasikan: Kesadaran (awareness), Keseimbangan (balance), Keteladanan (role-modeling), dan Keterlibatan (engagement).
Kesadaran berarti memahami bahwa teknologi adalah alat, bukan tujuan. Penelitian dari Digital Wellness Institute (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang memahami logika dibalik teknologi—bukan sekadar menggunakannya—memiliki tingkat kecanduan gadget yang lebih rendah. Orangtua perlu membantu anak-anak melihat “di balik layar”—bagaimana algoritma bekerja, bagaimana konten digital dibuat, dan bagaimana perhatian mereka diperebutkan oleh platform digital.
Imam al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” menulis bahwa “pengetahuan tanpa pemahaman seperti fatamorgana—tampak berkilau dari kejauhan namun tak memberi kesejukan saat didekati.” Begitu pula dengan pengetahuan digital yang tanpa kesadaran kritis—berlimpah namun tak menyejukkan jiwa.
Keseimbangan adalah prinsip kedua yang vital. Studi longitudinal dari UCLA (2022) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki keseimbangan antara aktivitas digital dan non-digital menunjukkan perkembangan sosial-emosional yang lebih baik. Di rumah, orangtua dapat menciptakan “zona bebas gadget” seperti meja makan dan kamar tidur, serta menetapkan “waktu keluarga sakral” yang bebas dari gangguan digital.
Filsuf kontemporer Byung-Chul Han dalam “The Burnout Society” memperingatkan bahwa “kehidupan digital yang tanpa jeda adalah bentuk kekerasan terhadap jiwa manusia.” Anak-anak kita membutuhkan ruang sunyi untuk merenungkan, membayangkan, dan memahami diri mereka sendiri—kemampuan yang hanya berkembang dalam keheningan dan kebosanan kreatif.
Keteladanan menjadi pilar ketiga yang tak tergantikan. Penelitian dari Digital Parenting Initiative (2023) menemukan bahwa perilaku digital orangtua adalah prediktor terkuat untuk perilaku digital anak-anak. Ketika orangtua terus-menerus mengecek ponsel saat bersama anak, mereka mengajarkan bahwa koneksi digital lebih penting daripada koneksi manusia. Seperti kata pepatah Arab: “Lisanul hal afsahu min lisanil maqal” (bahasa perbuatan lebih kuat daripada bahasa ucapan).
Dr. Sherry Turkle, profesor psikologi dari MIT, dalam bukunya “Reclaiming Conversation” menyatakan bahwa generasi orangtua saat ini adalah “generasi transisi”—orang-orang yang masih ingat masa tanpa internet, namun kini menjalani kehidupan yang semakin tergantung padanya. “Ini memberikan tanggung jawab khusus untuk menunjukkan kepada anak-anak bahwa kehidupan bermakna tidak tergantung pada koneksi digital,” tulisnya.