Panggung Kebenaran

Kebenaran bukan milik siapa pun, tapi sekaligus milik semua orang. Ia bukanlah barang yang bisa diklaim, melainkan proses yang harus dijalani bersama.

Oleh: Arda Dinata

“Kebenaran bukanlah barang yang sekali ditemukan lantas selesai. Ia adalah pertunjukan panjang yang memerlukan banyak sutradara dan penonton untuk memaknainya.”

Bayangkan sejenak panggung teater raksasa dengan ribuan pemain, masing-masing memegang naskah berbeda. Sutradara? Entah bersembunyi di mana. Lampu sorot menyala dan padam bergantian. Para penonton? Mereka justru sibuk menonton layar ponsel masing-masing. Inilah pertunjukan kebenaran di era kita.

Sementara itu, di pojok panggung, seorang badut dengan wajah coreng-moreng terpingkal-pingkal. Ia memegang cermin besar dan mengacungkannya pada setiap orang. “Lihatlah kebenaran kalian!” teriaknya, tapi semua terlalu sibuk untuk menoleh.

Kita hidup di era di mana kebenaran seakan menjadi dagangan lelang. Siapa yang berani membayar lebih mahal, dialah pemilik kebenaran hari ini. Besok? Tunggu saja tawaran yang lebih tinggi. Kebenaran kini seperti tayangan sinetron—penuh plot twist mengejutkan dan ending yang sering mengecewakan.

“Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta,” demikian teori korespondensi mengajarkan. Tapi faktanya? Fakta pun kini bisa diproduksi massal seperti tempe di pabrik. Digoreng sebentar, dibumbui narasi, disajikan dengan garnish media sosial. Siap santap.

Menurut survei Edelman Trust Barometer 2023, kepercayaan publik terhadap media di Indonesia hanya 43 persen. Angka ini bahkan lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Kebenaran sedang dijual obral, dan kita semua adalah konsumen yang kebingungan.

Di tengah pasar kebenaran yang riuh ini, saya teringat pengalaman masa kecil. Ibu saya kerap berkata, “Bohong itu kaki pendek.” Maksudnya, kebohongan tidak akan bertahan lama. Tapi di era digital, kebohongan justru punya kaki seribu yang bisa berlari ke segala arah dengan kecepatan cahaya.

Koherensi, kata para filsuf, adalah ukuran lain kebenaran. Kebenaran harus selaras dengan sistem pengetahuan yang ada. Tapi di zaman di mana algoritma media sosial mengkotak-kotakkan kita ke dalam ruang gema, setiap orang punya “sistem pengetahuan” sendiri-sendiri. Kebenaran menjadi relatif dan tribal.

Penelitian dari MIT pada 2018 menemukan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat daripada berita faktual di Twitter. Bukan karena robot, tapi justru karena manusia cenderung menyebarkan konten yang mengejutkan dan memicu emosi. Kebenaran kalah cepat dengan sensasi.

Dalam lakon wayang, Semar selalu menjadi penasihat yang membawa kebenaran. Ia tidak tampan, tidak juga berkuasa. Namun kata-katanya menembus kabut kebingungan para ksatria. Di panggung kebenaran hari ini, kita kehilangan Semar. Yang ada hanyalah deretan dalang yang saling berebut mengendalikan lakon.

Saya pernah duduk bersama seorang kakek di desa. Tanpa akses internet, tanpa bombardir informasi 24/7, ia justru punya kejernihan pikir yang mengagumkan. “Kebenaran itu seperti air,” katanya. “Makin jernih wadahnya, makin mudah kita melihatnya.” Wadah kita saat ini terlalu keruh oleh kepentingan dan ego.

Pragmatisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah apa yang berguna dalam praktik. William James, filsuf pragmatis, menulis bahwa ide benar jika memiliki nilai praktis bagi kehidupan kita. Pertanyaannya: nilai praktis bagi siapa? Bagi politisi yang ingin berkuasa? Bagi korporasi yang mengejar laba? Atau bagi rakyat yang mencari keadilan?

Di panggung sandiwara kekuasaan, kebenaran sering menjadi figuran yang diabaikan. Narasi dipoles sedemikian rupa hingga tampak berkilau di bawah sorotan lampu. Penonton bertepuk tangan, terpesona oleh kemasan, lupa mencari isi.

error: Content is protected !!