
Oleh: Arda Dinata
“Setiap langkah yang dimulai tanpa Nama-Nya ibarat perahu tanpa kemudi, berkelana dalam samudra tanpa arah, berharap tiba di daratan yang tak pernah dipetakan.”
Di sebuah desa kecil di pinggiran Aceh, ada sebuah rumah tua yang menarik perhatian setiap orang yang melewatinya. Bukan karena kemegahannya, melainkan karena sebuah ukiran kayu yang dipasang di atas pintu masuknya. Ukiran itu menampilkan kaligrafi Arab yang indah: “بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ” (Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm). Rumah itu milik seorang kakek bernama Teungku Ibrahim, seorang guru mengaji yang sudah mengabdi selama hampir lima dekade.
Suatu hari, seorang pemuda datang berkunjung. Ia seorang arsitek muda lulusan luar negeri yang kembali ke kampung halaman untuk membangun kompleks perumahan modern. Dengan nada setengah meremehkan, ia bertanya kepada Teungku Ibrahim: “Mengapa ukiran itu harus dipasang di atas pintu? Bukankah itu hanya tradisi kuno yang tidak relevan lagi di era modern?”
Teungku Ibrahim tersenyum bijak. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengajak sang pemuda masuk dan menikmati secangkir kopi Aceh. “Ketika engkau masuk melalui pintu itu,” ujar Teungku Ibrahim perlahan, “engkau tidak sekadar melangkah ke dalam rumah fisik ini. Engkau melangkah dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Engkau mengingatkan dirimu bahwa setiap langkah yang kau ambil dalam kehidupan ini berada dalam lindungan-Nya. Basmalah bukanlah sekadar hiasan, melainkan pintu yang membuka kesadaran kita akan kehadiran Yang Maha Kuasa dalam setiap aspek kehidupan.”
Kisah di atas menghadirkan kita pada makna yang sering terlupakan dari frasa sederhana namun mendalam: “Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm.” Dalam keseharian, kata-kata ini sering diucapkan tanpa benar-benar meresapi maknanya. Kita mengucapkannya ketika memulai pekerjaan, membaca Al-Qur’an, atau menikmati makanan. Namun, sudahkah kita benar-benar menjadikannya sebagai pintu kesadaran dalam setiap langkah hidup kita?
Basmalah, sebagaimana dimaknai dalam tradisi Islam, bukan sekadar formula pembuka, melainkan pernyataan tentang identitas dan tujuan seluruh tindakan manusia. Ketika seseorang mengucapkan “Bismillāh,” ia menegaskan bahwa tindakannya dilakukan bukan atas nama dirinya sendiri, melainkan atas nama Allah—Dzat yang menciptakan dan memelihara alam semesta. Ia menyatakan bahwa tindakannya berada dalam kerangka ketuhanan, bukan sekadar dorongan ego atau nafsu duniawi.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” menjelaskan bahwa mengucapkan basmalah dengan kesadaran penuh adalah bentuk tauhid dalam tindakan. Ia menyatakan bahwa seorang hamba yang benar-benar memahami makna basmalah akan menyadari bahwa segala kemampuan, pengetahuan, dan kesempatan yang ia miliki adalah pemberian dari Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, kesombongan dan kecongkakan tidak lagi memiliki tempat dalam dirinya.
Dalam konteks spiritual yang lebih dalam, basmalah mengingatkan kita akan dua sifat utama Allah: Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang). Ar-Rahman menunjukkan kasih Allah yang universal, yang dicurahkan kepada seluruh makhluk tanpa memandang status atau keyakinan. Sementara Ar-Rahim menunjukkan kasih khusus yang diberikan kepada mereka yang beriman dan berbuat kebaikan. Dengan menyebut kedua sifat ini, seorang Muslim mengingatkan dirinya untuk meneladani sifat-sifat kasih sayang dalam setiap tindakannya.
Filsuf Muslim kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya “The Garden of Truth,” menyatakan bahwa basmalah adalah mikrokosmos dari seluruh Al-Qur’an. Ia menulis: “Seluruh kebenaran Al-Qur’an terkandung dalam basmalah, dan basmalah terkandung dalam huruf ‘ba’ pada awal kata ‘Bismillah.'” Pernyataan ini menunjukkan betapa mendalamnya makna yang terkandung dalam frasa sederhana tersebut.