Namun, di era modern ini, kita menyaksikan fenomena yang memprihatinkan. Basmalah dan ritual-ritual serupa sering kali tereduksi menjadi sekadar kebiasaan tanpa makna atau bahkan ditinggalkan sama sekali. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin sekular, di mana sakralitas kehidupan semakin terkikis oleh materialisme dan konsumerisme. Kita memulai hari bukan dengan mengingat Tuhan, melainkan dengan memeriksa notifikasi di smartphone. Kita memulai pekerjaan bukan dengan basmalah, melainkan dengan kecemasan akan target dan deadline.
Psikolog transpersonal, Abraham Maslow, meski bukan seorang Muslim, mengakui pentingnya dimensi spiritual dalam kehidupan manusia. Ia menyatakan bahwa pengalaman puncak (peak experience) yang melibatkan kesadaran akan yang transenden adalah aspek penting dari aktualisasi diri. Basmalah, dalam konteks ini, dapat dipahami sebagai jembatan yang menghubungkan kesadaran sehari-hari kita dengan dimensi yang lebih tinggi.
Bayangkan jika kita benar-benar menjadikan basmalah sebagai pintu kesadaran dalam setiap aktivitas kita. Seorang dokter yang memulai praktiknya dengan basmalah akan memandang pasiennya bukan sekadar sebagai obyek pengobatan, melainkan sebagai amanah dari Yang Maha Penyayang. Seorang guru yang mengajar dengan basmalah akan melihat muridnya sebagai makhluk yang diciptakan dan dikasihi oleh Allah. Seorang pebisnis yang bertransaksi dengan basmalah akan menjalankan usahanya dengan kejujuran dan keadilan, bukan semata-mata mengejar keuntungan.
Kita hidup di zaman ketika polarisasi semakin tajam dan intoleransi semakin meningkat. Dalam konteks ini, basmalah dengan penekanan pada sifat Rahman dan Rahim dapat menjadi pengingat akan pentingnya kasih sayang universal. Ketika kita mengucapkan “Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm,” kita diingatkan bahwa Allah Yang kita sembah adalah Dzat yang kasih sayang-Nya meliputi seluruh makhluk. Dengan demikian, kita pun dituntut untuk menebarkan kasih sayang kepada semua, tanpa memandang perbedaan suku, agama, atau pandangan politik.
Dalam tradisi sufisme, basmalah dilihat sebagai kunci pembuka rahasia-rahasia ketuhanan. Syekh Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar abad ke-13, menulis bahwa huruf ‘ba’ dalam kata ‘Bismillah’ mengandung rahasia penciptaan. Bentuk huruf ‘ba’ dalam aksara Arab (ب) menyerupai wadah atau kontainer yang menampung seluruh rahasia ketuhanan. Titik di bawah huruf ‘ba’ melambangkan kesatuan esensial dari seluruh realitas.
Refleksi semacam ini mungkin terasa abstrak, namun ia menunjukkan kepada kita betapa tradisi spiritual Islam memandang setiap detail, bahkan setiap huruf, sebagai jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat eksistensi. Basmalah mengajarkan kepada kita untuk melihat kesakralan dalam hal-hal yang tampak biasa, untuk menyadari kehadiran Yang Maha Kuasa dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh beragam krisis—mulai dari krisis ekologi hingga krisis spiritual—basmalah menawarkan perspektif holistik yang menyatukan. Ia mengingatkan kita bahwa seluruh eksistensi berasal dari sumber yang sama dan berada dalam pemeliharaan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan demikian, kerusakan yang kita timpakan pada alam, pada sesama manusia, atau pada diri kita sendiri, pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap amanah yang telah diberikan kepada kita.
Mari kita kembalikan basmalah ke tempat yang semestinya—bukan sekadar formula pembuka yang diucapkan secara mekanis, melainkan pintu kesadaran yang kita buka dengan penuh kekhusyukan. Mari kita jadikan basmalah sebagai pengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil, setiap kata yang kita ucapkan, dan setiap tindakan yang kita lakukan berada dalam kerangka penghambaan kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
“Ketika engkau mengucapkan bismillah dengan kesadaran penuh, engkau menyerahkan egomu kepada Yang Maha Kuasa. Dalam penyerahan itulah justru engkau menemukan kekuatan dan kebijaksanaan yang tidak pernah engkau sangka.”
Inilah barangkali makna basmalah sebagai pintu kehidupan—pintu yang jika kita buka dengan kesadaran penuh, akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat keberadaan kita sebagai hamba Allah yang dikasihi dan diberi amanah untuk menebarkan kasih sayang-Nya di muka bumi. Wallahu a’lam bishawab.
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.