Belajar Go Green Ala Masyarakat Baduy: Ngubaran Pare dengan Biopestisida*)
Masyarakat Indonesia terkenal kaya akan adat istiadat. Sebagian adat istiadat itu, ada yang benar-benar telah sejalan dengan pola pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan masyarakat Baduy, Propinsi Banten. Dimana dalam tradisi masyarakat Baduy, ada pikukuh (aturan adat) yang secara khusus berkaitan dengan pengelolaan ladang, antara lain, bentuk pantangan (teu wasa) membongkar-bongkar tanah, menggunakan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Oleh: Arda Dinata
Kalau kita kaji, ternyata konsep pantangan membongkar-bongkar tanah pertanian, sejalan dengan upaya pemerintah menghindari erosi permukaan tanah (top soil erosion). Perilaku demikian, saat ini lebih dikenal dengan istilah zero tillage.
Sementara itu, teu wasa penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis, sejalan dengan konsep pertanian modern yang kini mulai dikembangkan, yaitu organic farming (pertanian organik) dan biopestisida (pemanfaatan pestisida alami).
Menurut pandangan masyarakat Baduy, pantangan menggunakan unsur-unsur kimia dimaksudkan untuk mencegah tercemarnya padi oleh racun, sehingga padi ladang dapat disimpan di lumbung-lumbung padi dalam waktu lama. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk menghindari pencemaran lingkungan di sekitar daerah yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat atau sebagai tanah titipan nenek moyang.
Sedangkan adanya larangan penggunaan pestisida sintetis, masyarakat Baduy masih melestarikan kebiasaan ngubaran pare (pengobatan padi) dengan metode alami berupa penggunaan biopestisida. Yakni penggunaan berbagai jenis flora untuk obat-obatan pembasmi hama pertanian.
Masyarakat Baduy sudah mengenal pemeliharaan padi secara alami, yaitu dengan cara disimpan di ladang untuk menghindari gangguan hama padi, yang disebut ngubaran pare. Perilaku ngubaran pare ini, biasanya dilakukan sebanyak lima, tujuh, atau sembilan kali pada setiap musim tanam. Faktor lain yang menentukan adalah berupa keuletan seseorang untuk memelihara ladang. Yang jelas, banyaknya frekuensi ngubaran pare ini, biasanya harus berangka gangsal (ganjil), karena mereka mengganggap sebagai angka “keberuntungan.”
Menurut aturan adat, padi ladang harus diobati ketika padi berumur empat puluh hari. Tapi, nyatanya praktek pengobatan ini dilakukan seusai menyiangi padi pada tahap pertama (ngored munggaran). Sebab, menyiangi padi tahap pertama tidak selalu selesai dalam waktu empat puluh hari.
Pengobatan padi ini, sejalan dengan kepercayaan masyarakat Baduy bahwa tanam padi (ngaseuk) dianggap sebagai ngawinkeun (menyatukan) Dewi Padi (Nyi Pohaci) dengan tanah (pertiwi) sehingga dapat menghasilkan padi yang banyak (Garna; 1988). Aktivitas mengobati padi pada umur empat puluh hari ini dikenal dengan sebutan upacara ngirab sawan.