Covid-19 dan Ekosistem Hewan
Covid-19 dan Ekosistem Hewan
OlehTRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Pembelajaran yang dapat dipetik dari pandemi Covid-19 adalah menjaga kesehatan populasi hewan dan menyelaraskan interaksi kita dengan hewan dan ekosistemnya dapat mengurangi risiko penyakit ke manusia.
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini dapat dikatakan sebagai suatu lonceng pengingat dari hubungan fungsional kita yang terganggu dengan alam. Terutama hubungan kita dengan berbagai ekosistem hewan, baik hewan yang kehidupannya bergantung pada manu- sia maupun yang tidak.
Pada dasarnya, Covid-19 mengindikasikan potensi keterkaitan hewan dan manusia sebagai sumber primer penyakit-penyakit zoonotik. Kelelawar menjadi inang alamiah berbagai ragam virus korona. Meskipun juga masih terlalu awal untuk mengonfirmasi peran inang perantara seperti tenggiling atau satwa liar lainnya sebagai sumber SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Jane Goodall, ahli primata dan antropologi yang sejak lama terlibat dalam konservasi satwa liar, mengatakan, semua orang harus menyadari bahwa pandemi ini adalah kesalahan kita sebagai manusia kalau kita tidak belajar dari interaksi kita dengan alam. Jika manusia terus tidak respek terhadap alam dan hewan, pandemi seperti Covid-19 mungkin saja akan terjadi lagi.
Risiko ke manusia
Dunia dikejutkan pertama kali dengan dilaporkannya seekor anjing yang diuji positif terhadap Covid-19 di Hong Kong pada akhir Februari 2020. Kemudian anjing kedua dan seekor kucing dilaporkan positif di Hong Kong pada Maret 2020.
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini dapat dikatakan sebagai suatu lonceng pengingat dari hubungan fungsional kita yang terganggu dengan alam.
Di bulan yang sama, dilaporkan seekor kucing di Belgia diuji positif Covid-19. Diikuti laporan uji positif pada satwa kebun binatang di kota New York, Amerika Serikat, pada April 2020. Seekor harimau diuji positif setelah satwa lain seperti singa dan macan tutul menunjukkan gejala gangguan pernapasan. Seorang pekerja kebun binatang yang terinfeksi Covid-19, tetapi tidak memperlihatkan gejala, mungkin telah menginfeksi satwa tersebut.
Sebagian besar hewan yang disebutkan di atas tidak menunjukkan gejala sakit. Sangat besar kemungkinannya hewan terpapar dengan virus yang berasal dari pemilik hewan atau orang lain yang kontak dekat dengan mereka. Penemuan ini menimbulkan kekhawatiran khususnya para pemilik hewan dan dokter hewan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pertanyaan penting adalah seberapa besar risiko hewan peliharaan kemudian dapat menularkan Covid-19 ke manusia?
Perkembangan lebih lanjut menunjukkan sejumlah hewan baik di lapangan maupun di tataran laboratorium dapat tertular penyakit apabila kontak secara persisten dengan orang terinfeksi. Sampai saat ini, infeksi Covid-19 ditemukan pada beberapa ekor kucing, beberapa ekor anjing, ferret pada uji laboratorium, cerpelai yang diternakkan, dan sejumlah kecil satwa kebun binatang. Cerpelai terinfeksi ditemukan pada peternakan di Belanda.
Dalam beberapa kejadian, cerpelai yang terinfeksi dari orang kemudian menularkan virus ke orang lain. Ini kasus pertama penularan dari hewan ke manusia. Pemerintah Belanda melalui pengadilan memusnahkan lebih dari 500.000 ekor cerpelai—yang biasanya dikembangbiakkan sebagai hewan penghasil bulu—karena kekhawatiran dapat bertindak sebagai reservoir penyakit.
Dampak terhadap ekosistem
Sama halnya dengan negara lain, kita di Indonesia juga merasakan kekhawatiran yang meningkat karena penyebaran Covid-19. Dampak dari penerapan lockdown ataupun pembatasan sosial memengaruhi semua aspek kehidupan manusia dan hewan di seluruh dunia.
Dampak bagi ekosistem hewan terutama disebabkan oleh penutupan temporer tempat penampungan hewan, kebun binatang, taman akuarium, dan pusat rehabilitasi satwa liar. Di banyak bagian dunia di mana Covid-19 berjangkit, tempat-tempat penampungan hewan mengalami tingkat adopsi yang menurun drastis di tengah meningkatnya kekhawatiran akan terkurasnya.
Dampak dari penerapan lockdown ataupun pembatasan sosial memengaruhi semua aspek kehidupan manusia dan hewan di seluruh dunia.
Lebih dari 700 juta orang mengunjungi kebun binatang dan taman akuarium setiap tahun di seluruh dunia sehingga pengunjung merupakan suatu keberadaan tetap bagi satwa yang hidup di sana. Pandemi Covid-19 telah memaksa lokasi seperti ini untuk ditutup bagi publik, menyebabkan satwa merasakan kesunyian yang luar biasa.
Penutupan kebun binatang di Indonesia sebagai akibat pandemi Covid-19 juga menimbulkan masalah bagi satwa-satwa penghuni dan para pekerja. Satwa sebagai makhluk hidup harus terus diberi makan dan dijaga kesehatannya secara berkelanjutan. Rehabilitasi satwa liar, terutama yang memberikan perawatan untuk orang utan dan kera lain, juga menghentikan pelepasan hewan ke alam liar selama pandemi Covid-19 untuk mencegah kemungkinan penularan virus ke populasi liar.
Begitu juga dengan nasib populasi anjing atau kucing liar terutama di negara-negara berkembang seperti juga di Indonesia. Program sterilisasi sebagai bagian dari manajemen populasi dan juga program vaksinasi massal rabies ditunda pelaksanaannya di masa pandemi Covid-19. Hal yang menyebabkan hewan liar bebas berkembang biak dan mengarah pada kenaikan populasi yang tidak diinginkan serta terkendalanya program pengendalian rabies.
Arah ke depan
Dari data sampai saat ini, cakupan spesies hewan dari virus SARS-CoV-2 cukup luas, tetapi hanya sebagian kecil hewan yang terinfeksi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sampai saat ini belum ada bukti bahwa hewan-hewan seperti ini dapat menularkan penyakit ke manusia dan menyebarkan Covid-19.
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan, meski beberapa spesies hewan dapat terinfeksi Covid-19, infeksi tersebut bukanlah pemicu pandemi dan penyebaran terjadi lebih karena penyebaran dari orang ke orang.
Para ahli didukung WHO dan OIE menyepakati bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana hewan-hewan berbeda dipengaruhi oleh Covid-19. Di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi, dibutuhkan perhatian pemerintah untuk upaya penguatan infrastruktur laboratorium, kapasitas diagnosis, dan penerapan surveilans terintegrasi untuk menyelidiki peran hewan dalam pandemi Covid-19.
Suatu momentum yang tepat bagi kita barangkali untuk berpikir tentang konsep new normal’ yang mencakup antarspesies.
Pembelajaran yang dapat dipetik dari pandemi Covid-19 adalah menjaga kesehatan populasi hewan dan menyelaraskan interaksi kita dengan hewan dan ekosistemnya dapat mengurangi risiko penyakit ke manusia. Banyak dari kita berbicara tentang bagaimana kita dapat segera kembali ke normal pasca- Covid-19. Suatu momentum yang tepat bagi kita barangkali untuk berpikir tentang konsep new normal’ yang mencakup antarspesies.
Walaupun tidak ada tindakan pencegahan spesifik ketika kita berinteraksi dengan hewan selama dan pasca-Covid-19, hal yang selalu terbaik diterapkan sebagai aturan umum adalah mempraktikkan kebersihan yang baik dan tindakan biosekuriti. Dari yang sangat sederhana seperti cuci tangan dengan sabun dan air setelah menyentuh hewan, serta membersihkan dan mendisinfeksi setiap mesin/peralatan peternakan.
Semua pihak harus memperlakukan binatang secara baik dengan menghormati penerapan standar-standar kesejahteraan hewan. Informasi menyesatkan tentang peran hewan dalam pandemi Covid-19 masih dan akan terus beredar. Namun, tidak ada pembenaran dalam hal ini untuk mengabaikan, menolak, menyiksa, atau membunuh hewan karena keprihatinan atas Covid-19.
Tri Satya Putri Naipospos, Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)