Gravitasi Ruh

Pada tahun 2019, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa orang-orang yang secara teratur melakukan ritual keagamaan—termasuk ibadah shalat bagi Muslim—memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Ini bukan kebetulan. Ada makna mendalam dalam tindakan merendahkan diri secara fisik yang justru meninggikan kualitas spiritual.

Saat kecil dulu, nenek saya sering bercerita tentang pohon padi. “Semakin berisi, semakin merunduk,” katanya. Padi yang kosong akan berdiri tegak dengan congkak, sementara padi yang penuh dengan bulir berharga akan merunduk rendah. Analogi sederhana ini mengandung kebijaksanaan universal: kerendahan hati adalah tanda dari jiwa yang kaya.

Dalam tradisi tasawuf, sujud dianggap sebagai maqam (stasiun spiritual) tertinggi karena justru dalam keadaan terendah itulah manusia mencapai puncak kedekatannya dengan Allah. Ada hadits yang menyebutkan bahwa “Seorang hamba berada paling dekat dengan Tuhannya saat ia bersujud.” (HR. Muslim)

Fisika kuantum modern bahkan memberikan perspektif menarik tentang ini. Dalam teori ketidakpastian Heisenberg, dikatakan bahwa kita tidak dapat secara bersamaan mengetahui posisi dan momentum sebuah partikel dengan pasti. Ada batas fundamental bagi pengetahuan kita. Ini mirip dengan konsep dalam spiritualitas bahwa ada batas-batas pemahaman manusia tentang realitas tertinggi. Dalam sujud, kita mengakui keterbatasan ini dan menyerahkan diri kepada yang Maha Mengetahui.

Di tengah dunia yang terobsesi dengan “melayang tinggi”—entah melalui kekayaan, ketenaran, kekuasaan, atau pengetahuan—sujud mengingatkan kita untuk sesekali “jatuh” dan merasakan bumi di bawah dahi kita. Merasakan kembali esensi kemanusiaan kita yang sederhana namun mendalam.

Bukankah menarik bahwa dalam fisika, benda yang jatuh mengalami percepatan? Semakin lama jatuh, semakin cepat. Begitu pula dalam spiritualitas, semakin kita merendahkan diri, semakin cepat jiwa kita “jatuh” ke dalam samudera rahmat Ilahi.

Saya teringat pengalaman pribadi beberapa tahun lalu ketika mengalami masa-masa sulit secara finansial dan karir. Segala upaya yang saya lakukan seperti tidak membuahkan hasil, dan saya merasa seperti terus “jatuh”. Namun justru dalam keterpurukan itulah saya menemukan makna sujud yang sebenarnya. Ketika tidak ada lagi tempat untuk jatuh selain ke hadirat-Nya, saya merasakan kelegaan yang aneh namun nyata. Seperti perasaan lega ketika akhirnya menyerah pada gravitasi setelah lelah berjuang melawannya.

Mari kita renungkan: mungkin krisis eksistensial yang banyak dirasakan manusia modern adalah karena kita terlalu keras melawan “gravitasi ruh” kita. Kita menolak untuk kembali ke fitrah, menolak untuk mengakui keterbatasan kita, menolak untuk bersujud—baik secara harfiah maupun metaforis.

Bagaimana jika kita mulai mengikuti kembali hukum alam ini? Menerima bahwa ada bagian dari diri kita yang selalu merindukan “jatuh” ke dalam pelukan Ilahi? Mungkin dengan begitu, kita akan menemukan keseimbangan hidup yang lebih otentik dan bermakna.

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap orang mengenali dan mengikuti “gravitasi ruh”-nya masing-masing. Dunia di mana kerendahan hati dihargai lebih tinggi daripada kesombongan intelektual atau material. Dunia di mana sujud—dalam berbagai bentuknya—menjadi bahasa universal kemanusiaan.

Inilah barangkali makna tersembunyi dari gravitasi dan sujud: keduanya mengingatkan kita bahwa kadang-kadang, untuk menemukan kedamaian, kita tidak perlu terbang tinggi mencari jawaban di langit. Kadang-kadang, jawabannya ada di bawah kaki kita, di tanah tempat kita berpijak dan bersujud.

Wallahu a’lam bishawab.

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

error: Content is protected !!