Keterlibatan menjadi pilar terakhir namun sama pentingnya. Daripada sekadar membatasi waktu layar, orangtua perlu terlibat dalam kehidupan digital anak-anak mereka. Bermain game bersama, mendiskusikan konten yang mereka konsumsi, atau berkolaborasi dalam proyek digital dapat membuka dialog bermakna.
Psikolog perkembangan Jean Piaget mengatakan bahwa “anak-anak belajar melalui interaksi aktif.” Prinsip ini tetap berlaku di era digital. Ketika orangtua bertanya tentang video yang ditonton anak atau aplikasi yang digunakan, mereka tidak hanya membangun koneksi, tetapi juga mengajarkan cara berpikir kritis tentang konten digital.
Menggabungkan kearifan tradisional dengan teknologi modern bukanlah tugas mudah. Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, mengajarkan konsep “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan). Prinsip ini sangat relevan untuk pendidikan digital—orangtua perlu menjadi teladan dalam penggunaan teknologi, membangun literasi digital bersama anak, dan akhirnya memberikan ruang kepercayaan saat anak sudah mampu mengelola dunia digitalnya sendiri.
Pendidikan karakter di era digital memerlukan pendekatan yang mengintegrasikan nilai-nilai timeless dengan keterampilan digital. Penelitian dari Center for Humane Technology (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang diajari nilai-nilai seperti empati, kesabaran, dan kebijaksanaan cenderung lebih tangguh menghadapi tekanan digital. Nilai-nilai ini tidak diajarkan melalui ceramah, tetapi melalui percakapan reflektif, pengalaman langsung, dan keteladanan sehari-hari.
Di rumah-rumah kita, ruang digital dan ruang nyata semakin berbaur. Tantangannya bukan memisahkan keduanya, tetapi membangun jembatan yang menghubungkan keduanya dengan bijaksana. Mari kita bayangkan rumah sebagai ekosistem pembelajaran yang saling terkoneksi, di mana anak-anak belajar memahami nilai teknologi sekaligus batasannya.
“Dalam ruang antara klik dan tatap mata, antara layar sentuh dan sentuhan tangan, di sanalah kita menemukan esensi pendidikan karakter era digital—keseimbangan yang menghidupkan, bukan ekstremitas yang memisahkan.”
Inilah makna dari kebijaksanaan digital sebagai lanskap pembelajaran—sebuah ruang di mana teknologi bukan penguasa, tetapi alat untuk mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam. Di sini, anak-anak kita tidak sekadar menjadi konsumen teknologi yang pasif, tetapi pemikir kritis dan pencipta bermakna di dunia yang semakin digital. Wallahu a’lam…
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka:
Common Sense Media. (2023). The common sense census: Media use by tweens and teens. San Francisco, CA: Common Sense Media.
Gardner, H., & Davis, K. (2022). The app generation: How today’s youth navigate identity, intimacy, and imagination in a digital world. Yale University Press.
Han, B. C. (2021). The burnout society. Stanford University Press.
Rachmawati, Y. (2023). Membangun kebijaksanaan digital dalam pendidikan karakter. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Karakter, 45-57.
Turkle, S. (2021). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Books.
Digital Wellness Institute. (2023). Digital wellness and child development report. Boston, MA: Digital Wellness Institute.
UCLA Center for Digital Behavior. (2022). Long-term effects of screen time on social-emotional development: A 5-year longitudinal study. Los Angeles: UCLA Press.
Digital Parenting Initiative. (2023). Parent-child digital dynamics: Impact and interventions. University of Michigan.
Center for Humane Technology. (2023). Values-based digital education for children. San Francisco, CA.