Untuk itu, pemaknaan emansipasi wanita ini harus segera kita luruskan agar tidak membuat keterpurukan bangsa ini menjadi berlarut-larut. Dalam nada pertanyaan, Elvira W & Eva R (1997),mengungkapkan bahwa satu fenomena (gejala) yang tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa semakin banyak perempuan yang menghiasi percaturan perpolitikan tidak menutup suatu kemungkinan menunjukkan bahwa semakin banyak wanita yang terlibat dalam dunia kejahatan. Jadi apakah semua merupakan suatu keberhasilan dari peran ganda wanita atau hanya fatamorgana belaka??..
Dalam hal ini, Maurice Bardeche, pakar dari negara Prancis yang dinilai sebagai pelopor yang mengumandangkan semboyan “kebebasan dan persamaan”, dalam bukunya “Hestoire des Femmers”memperingatkan janganlah hendaknya kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian akan lahir bahkan telah lahir jenis manusia ketiga sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Lentera Hati”. Dikatakannya bahwa “baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya”. (Widaningsih, 2000).
Sementara itu, diungkapkan Dadang Kusnandar, jika wanita secara tulus melakukan tugas-tugas rumah tangganya, boleh jadi konsep rumah tangga Islam: Baiti Jannati, dengan sendirinya akan lebih mudah terbina. Sebab pendidikan yang paling mulia bagi anak tidak lain bermula dari ibu. Maka anak-anak langsung memperoleh pendidikan dan kasih sayang seorang ibu, lebih terjamin akhlaknya. Anak-anak akhirnya lebih terkendali dan bersosialisasi di tengah pergaulan masyarakat. Mereka tidak mudah terjerat pada sekian penyimpangan dari perilaku chaos serta tawaran-tawaran nilai “baru” untuk melakukan pengingkaran norma-norma sosial, terutama moral serta etika agama.
Sebaliknya, wanita yang menyerahkan pendidikan anaknya kepada orang lain tanpa keterlibatan langsung dan penuh dari ibunya ketika ia remaja tampak lebih lentur dalam menerima “paradigma” di kalangan remaja, terutama di kota-kota. Katakanlah ia menjadi terasing dari lingkungannya, malah dengan keluarga sendiri kerap menjadi amat individualis. Dan sulit dihindari kenyataan menujukkan adanya sejumlah dekonstruksi moral dan etika sosial, sering bermula dari ketidak harmonisan hubungan keluarga.
Di sinilah pentingnya sebuah kesadaran untuk menjadi seorang ibu. Kesadaran ini, tentu berkenaan dengan masalah-masalah reproduksi perempuan sebagaimana yang menjadi wacana feminisme. Tetapi, dalam pandangan Suharsono (2002), persoalannya tidaklah cukup dengan “melahirkan” lalu menjadi ibu dan selesai. Menjadi ibu melibatkan pengertian dan kesadaran baru yang harus dimiliki bagi setiap perempuan.
Di samping resiko beratnya melahirkan, menjadi ibu berarti memiliki kesadaran penuh untuk membekali diri dalam rangka mendidik anak-anaknya. Tugas untuk menjadi ibu dalam pengertian seperti ini, membutuhkan bobot spiritual dan intelektualitas yang memadai. Para ibu adalah guru pertama anak-anaknya sendiri. Orang pertama yang akan menjadi sandaran bagi anak-anaknya, tempat bertanya, mengadukan halnya dan juga perlindungannya. Jawaban-jawaban yang diberikan serta kepedulian seorang ibu bagi anak-anaknya, sangat menentukan bagi masa depan anak-anaknya.
Untuk itu, semoga para wanita penghuni bangsa ini tidak melupakan kodratnya, yakni menjadi seorang ibu yang baik. Aamiin.
Salam sukses selalu. Bagaimana menurut pendapat Anda?***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.


