Membangun Wirausahawan Handal
“Wirausahawan sejati, bukan pribadi curang, culas, dan berkianat, melainkan orang yang berbudi luhur.” [Arda Dinata].
Oleh: Arda Dinata
DALAM Kongres World Association for Small and Medium Entreprises, di Turki telah ditetapkan kewirahusaan dunia itu sebagai pendekatan baru dalam pembaruan ekonomi. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh kaum muslim di Indonesia yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan di negara yang (katanya) kaya akan sumber daya alam ini.
Atas fenomena ini, seperti juga bidang lain, kita telah ketinggalan star. Padahal, di negara lain, kewirausahaan sudah dijadikan sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam lapangan pekerjaan.
Dalam konteks kekinian, hal itu berarti Indonesia harus benar-benar mengembangkan kewirausahaan seluas-luasnya, sebagai jawaban dari penanggulangan tingginya angka pencari kerja (pengangguran). Pertanyaannya, maukah kita melakukan pembaruan ekonomi (dengan kewirausahaan) itu?
Pengertian Wirausaha
Wirausaha berasal dari kata wira dan usaha. Wira berarti mulia, luhur atau unggul. Wira juga diartikan sebagai gagah berani, utama, teladan atau pemuka. Sedangkan usaha, diartikan sebagai kegiatan dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai sesuatu maksud; pekerjaan (perbuatan, daya upaya, iktiar) untuk mencapai sesuatu maksud; kerajinan bekerja (untuk menghasilkan sesuatu).
Jadi, wirausaha adalah suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai/ menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan.
Betapa mulianya mereka yang mampu menjadi wirausaha –yang sesuai syariat Islam—ini, karena hidupnya akan berarti bagi dirinya sendiri dan orang lain. Bukankah, Nabi saw sendiri telah merubah pandangan dunia, bahwa kemuliaan bukanlah terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak. Tetapi, kemuliaan adalah pada pekerjaan. Siapa yang bekerja, meskipun apa saja jenis usahanya (baca: asalkan halal), adalah suatu kehormatan. Sebaliknya, kehinaan itu bila kita tidak bekerja, bermalas-malasan, menganggur, menghabiskan waktu dengan sia-sia dan merugikan diri sendiri serta orang lain.