Dr. Jonathan Haidt dalam bukunya “The Righteous Mind” (2012) menjelaskan bahwa manusia cenderung menentukan sikap berdasarkan intuisi moral, baru kemudian mencari pembenaran rasional. Kita tidak mencari kebenaran secara objektif, tapi secara selektif mencari bukti yang mendukung keyakinan kita.
Pertunjukan kebenaran di media sosial semakin memperparah keadaan. Kita seperti penonton opera sabun yang terlalu terlibat dengan drama. Lupa bahwa semua hanyalah skenario yang dirancang untuk menguras emosi.
Jurnalis Walter Lippmann pernah menulis bahwa tugas pers adalah “to make the unseen visible” — membuat yang tak terlihat menjadi tampak. Tapi hari ini, media justru sering membuat yang terlihat menjadi tak terlihat, dan sebaliknya. Kebenaran bersembunyi di balik kabut algoritma dan bias konfirmasi.
Saat berkunjung ke sebuah desa terpencil tahun lalu, saya menemukan sekelompok anak bermain “telepon rusak.” Mereka tertawa terbahak saat pesan awal berubah menjadi kalimat absurd di ujung rantai. Tiba-tiba saya tersadar: inilah metafora sempurna untuk peredaran informasi di era digital kita.
Namun, di tengah panggung kebenaran yang kacau ini, masih ada harapan. Ada jurnalis-jurnalis gigih yang menggali fakta. Ada peneliti yang mengabdikan hidup untuk pengetahuan. Ada guru-guru yang menanamkan kecintaan pada kebenaran. Mereka adalah para pemeran figuran yang sebenarnya lebih penting dari tokoh utama.
Menurut laporan Reuters Institute Digital News Report 2023, 67 persen responden global merasa khawatir tentang kemampuan mereka membedakan berita asli dan palsu di internet. Ketidakpastian ini adalah harga yang kita bayar untuk gelimang informasi tanpa filter kualitas.
Kembali ke pertanyaan awal: apa itu kebenaran? Mungkin kebenaran bukanlah hal yang bisa ditemukan, melainkan harus terus-menerus dicari. Seperti dalam pertunjukan teater yang baik, makna sesungguhnya terletak pada proses pencarian, bukan pada akhir cerita.
Sebagai penonton di teater kebenaran ini, kita punya peran. Bukan sekadar duduk manis dan menelan mentah-mentah apa yang disajikan, tapi juga mengajukan pertanyaan kritis. Membedah narasi. Menimbang bukti. Dan, yang terpenting, berani mengatakan bahwa raja telanjang ketika memang demikian adanya.
“Kebenaran bukan milik siapa pun, tapi sekaligus milik semua orang. Ia bukanlah barang yang bisa diklaim, melainkan proses yang harus dijalani bersama.”
Wallahu a’lam…
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka:
Edelman. (2023). Edelman Trust Barometer 2023. Edelman.
Haidt, J. (2012). The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion. Pantheon Books.
Newman, N., Fletcher, R., Robertson, C. T., Eddy, K., & Nielsen, R. K. (2023). Reuters Institute Digital News Report 2023. Reuters Institute for the Study of Journalism.
Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146-1151.