
Bukan itu saja. Arsitektur permukiman juga mewariskan pola karantina di masa lampau. Permukiman di Kerinci yang disebut naghi atau dusun mengenal istilah pahit besudut mpat yang berarti bangunan dengan empat sudut. Sekeliling permukiman dibuat parit selebar 2,5 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter. Di sepanjang parit ditanami beberapa jenis tanaman, mulai dari palem sekuang, pandan berduri, hingga aur berduri. Tanaman-tanaman itu diyakini efektif menahan masuknya binatang buas, musuh, hingga penyakit. Tidak ketinggalan, beragam jenis tanaman obat di sepanjang jalur itu. Warga juga kerap mengasapi sekitar rumahnya di dekat tanaman sebagai upaya menangkal penyakit.
Lumbung padi
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Lumbung Padi di Desa Lempur Mudik, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Jambi, Minggu (4/3/2012).
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN Lumbung padi di Kabupaten Merangin, Jambi, 2007.
VOERHOVE/MUSEUM LEIDEN Lumbung padi di Kerinci. Foto diambil tahun 1932.
Bangunan lain, yaitu deretan lumbung padi alias larik jajo, yang dibangun terpisah dari rumah induk. Fungsinya untuk menyimpan stok makanan saat terjadi wabah ataupun masa paceklik. Orang Kerinci juga mengenal sistem karantina. Mereka menerapkan dua model, di dalam rumah dan di luar kampung. Di dalam permukiman kuno orang Kerinci, ada pintu yang menghubungkan antarsatu bangunan dengan bangunan lainnya. Di antara kedua pintu, terdapat sebuah ruangan untuk tempat pembakaran kemenyan. Di bagian dapur, terdapat sudut yang dinamakan pangau. Anggota keluarga yang sakit akan dibawa ke sana untuk proses penyembuhan. Salah satunya dengan dimandikan uap menggunakan rempah rempah.

Di luar parit basudut mpat, terdapat tanah ajun arah (lahan perluasan) yang letaknya di luar desa. Lokasi tanah yang biasanya masih berhutan itu menjadi tempat karantina ketika ada warga yang sakit parah dan menular. Orang Kerinci juga punya berbagai cara pengobatan, seperti ngubat dan asyeik. Ngubat merupakan cara pengobatan lewat bantuan dukun. Cara ini bahkan masih dianggap mujarab di masa modern seperti sekarang. Dalam upacara asyeik, masyarakat memberikan persembahan atau sesajian berupa hasil bumi. Sejumlah dukun mengucapkan mantra dan membawakan tarian magis dalam alunan musik sederhana nan ritmis (berulang-ulang).

Dalam proses itu bisa terjadi trance yang diyakini sebagai kehadiran roh untuk memperbaiki kondisi buruk. Baik ngubat maupun asyeik merupakan bentuk primitif masyarakat Kerinci dalam menjaga hubungan dengan alam. Ritual lainnya adalah mandi balimau. Dalam salah satu upacara adat, seluruh warga akan melintasi percikan air jeruk yang diyakini sebagai penanda kesembuhan dan perdamaian. Penulis sejarah Kerinci, Deky Syaputra, mengatakan, orang Jambi, khususnya di Dataran Tinggi Jambi, seperti Kerinci, menangani wabah cacar pada 1990-an dengan caranya sendiri.

Mereka membakar kemenyan di rumah pasien yang menghasilkan aroma wangi. Tidak jarang pula, kemenyan diasapkan kepada si penderita. Ada pula yang memercikkan air dari bungo gedang (kacapiring) sebagai pendingin yang juga menghasilkan wewangian. Sampai hari ini ritual-ritual serupa masih kerap dilakukan. Sama halnya ketika penyakit Covid-19 merebak hingga wilayah Jambi, termasuk Kerinci, sebagian masyarakat menjalankan cara tradisional untuk menangkal penyakit tersebut. Masyarakat di Desa Koto Iman, Kerinci, misalnya, membakar kemenyan di lima titik dusun mereka. Di sekeliling dusun kemudian dipercikkan air yang sebelumnya dicampur dengan beligo atau kundur (Benincasa hispida).

Begitu pula di komunitas adat Orang Rimba. Tradisi karantina dan jaga jarak telah hidup selama turun-temurun. Tujuannya, untuk mengantisipasi penyebaran wabah penyakit. Sejak mengetahui terjadinya pandemi Covid-19, pimpinan adat Orang Rimba langsung memboyong anggota komunitasnya masuk menjauh ke tengah hutan. Mereka memilih tetap aman di tengah hutan karena mengetahui sumber wabah berasal dari luar. Orang Rimba percaya, di tengah ekosistem alam yang seimbang, mereka dapat terlindungi dari beragam penyakit berbahaya, termasuk apabila mereka menjaga hutan dan memanfaatkan seisinya dengan bijaksana.
Kerabat Kerja
Penulis: Irma Tambunan | Fotografer: Irma Tambunan, Wawan H Prabowo | Infografik: Ismawadi | Olah foto: Novan Nugrahadi | Kover: Supriyanto | Penyelaras bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Produser: Sri Rejeki | Desainer & Pengembang: Ria Chandra, Rino Dwi Cahyo, Frans Yakobus Suryapradipta, Yosef Yudha Wijaya, Deny Ramanda