Belajar Pengelolaan Air dari Kanada
PROBLEMATIKA menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup (baca: masalah air) akan terus bergema dalam masa mendatang, apalagi bila kita kaitkan dengan telah diberlakukannya otonomi daerah (Otda). Pakar lingkungan hidup dari Unpad Bandung, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, sudah memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya.
Oleh: Arda Dinata
Permasalahan air ini tidak saja menyangkut kuantitas (jumlah) yang semakin menurun, juga menyangkut dari segi kualitas air yang ada dipermukaan. Pada daerah Jawa Barat (Jabar) saja, seperti diberitakan PR (2/03/04), potensi 70 miliar meter kubik air di Provinsi Jabar terbuang mubazir, disebabkan lemahnya manajemen air di Jabar, karena hutan dan kawasan lindung di Provinsi ini telah mengalami degradasi yang sangat fatal. Demikian disampaikan Ir. S. Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
Lebih jauh disebutkan, kondisi alam Jabar sejatinya mampu memberikan potensi sumber daya air sebesar 81 miliar meter kubik pertahun. Padahal, kebutuhan masyarakat Jabar akan air mencapai 17 miliar meter kubik per tahun. Sehingga pada musim hujan, potensi air sebesar 81 meter kubik itu tidak tertahan dan tersimpan di hutan dan kawasan lindung. Sebaliknya, di musim kemarau, potensi air yang bisa dinikmati hanya tinggal 10 persen, sehingga terjadilah defisit kebutuhan air.
Sementara itu, laporan dari FAO (Badan Pangan Dunia) dalam tahun 2002, lebih dari 10 juta hektare areal-areal pertanian di Afrika, Asia, dan Amerika Latin kini dalam kondisi krisis air. Hutan dan pertanian bertanggung jawab penuh pada sekira 70% penahanan air di dalam tanah. Namun sekarang, semua itu nyaris kurang berfungsi karena keberadaan mereka sudah semakin berkurang.
FAO mengungkapkan bahwa satu-satunya kunci untuk menahan lajunya pengurangan air di dunia (termasuk di Indonesia-Pen) adalah mengadakan efesiensi pemakaian air. Baik di lahan-lahan beririgasi teknis maupun non teknis, serta memperbaiki manajemen air. Sedangkan khusus di daerah-daerah yang kondisi air tanahnya parah, FAO juga menyarankan agar mengutamakan investasi dalam hal konservasi, dan memperbaiki manajemen air serta pemakaiannya yang lebih efesien.
Untuk menghindari kerusakan lingkungan itu, maka pemerintah daerah harus betul-betul mempersiapkan diri secara matang dan profesional berkait dengan manajemen pengelolaan lingkungan air ini. Yakni semua komponen masyarakat harus memahami betul kondisi mendasar dari kondisi sumber daya alam terpenting bagi keberadaan manusia itu. Kemudian memikirkan bagaimana menerapkan strategi/manajemen pengelolaan sumber daya air tersebut, yang dapat menjamin kepentingan semua golongan dan kelangsungan hidup manusia?
Kondisi Air
Meski air termasuk sumber daya alam yang bisa diperbaharui, namun keberadaannya di lingkungan tetap terancam karena tingkat penggunaan air melebihi tingkat pembaharuannya. Sekilas, memang gagasan pemerasan air bumi tanpak mustahil. Namun, diketahui bahwa 4/5 dari permukaan bumi adalah air.
Kondisi air untuk konsumsi manusia harus selalu segar, sedangkan air asin di samudera dan lautan mencapai 97,5% dari total volume air di bumi. Sisanya, sekitar 2/3 terkonsentrasi dalam bentuk kubah-kubah es di wilayah kutub dan air tanah. Sedangkan air segar yang bisa diperbaharui dan secara potensial tersedia untuk konsumsi manusia terdapat di danau, sungai dan waduk. Jumlah air segarnya tidak lebih dari 0,007% dari jumlah total air di permukaan bumi.
Kondisi tersebut, di masa lalu mungkin dibilang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bahkan di tahun 1950, ada 17.000 meter kubik suplai air segar untuk setiap wanita, pria dan anak-anak. Namun, karena tingkat pertumbuhan populasi, menjelang tahun 1995 jumlahnya telah berkurang hingga tinggal 7.500 meter kubik air. Jika ini terus berlanjut, maka di tahun 2005 hanya akan tersedia 5.100 meter kubik air bagi tiap orang per tahun. Secara demikian, akan timbul masalah kekurangan air yang serius di banyak bagian dunia.
Indonesia sendiri, saat ini jumlah penduduknya tidak kurang dari 203 juta orang lebih. Dengan kondisi seperti ini, maka pantas saja bila di Pulau Jawa telah mengalami krisis air. Saat ini ketersediaan air di Pulau Jawa saja tinggal 1.750 meter kubik perkapita pertahun. Padahal, standar kecukupan air mencapai 2.000 meter kubik. Artinya, kita benar-benar telah mengalami krisis air.
Sementara itu, sepertiga penduduk dunia pun mengalami masalah serius dalam mendapatkan air segar yang berkualitas baik, sedangkan 2/3 penduduk lainnya masih memiliki persediaan air yang memadai. Proporsi ini akan terbalik di tahun 2025. Pada tahun tersebut, jumlah air segar yang layak untuk dikonsumsi yang bisa didapatkan melalui teknologi yang ada, serta dengan biaya yang terjangkau hanya akan berjumlah 1/3 dari jumlah yang dikonsumsi di tahun 1950 (Ervin Laszlo; 1999).
Kondisi tersebut, menurut badan-badan dunia berkait dengan masalah lingkungan, seperti Badan Kesehatan Sedunia (WHO), Badan Meteorologi Dunia (WMO), Program Lingkungan PBB dan UNESCO, memprediksikan bahwa pada pertengahan dekade mendatang akan timbul masalah serius dalam hal pengadaan air lokal maupun regional. Pada tingkat dunia, menjelang tahun 2030, kurva suplai yang turun akan saling berpotongan dengan kurva permintaan menaik.