Cermin Retak

Socrates mengajarkan metode dialektika – bertanya dan mempertanyakan untuk mencapai kebenaran. Di zaman polarisasi ekstrem seperti sekarang, kebiasaan bertanya telah digantikan oleh kecenderungan menghakimi. Media sosial penuh dengan orang-orang yang yakin 100% akan pendapatnya. Keyakinan tanpa keraguan adalah awal dari kebodohan.

Pada 2023, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 8 jam 36 menit per hari untuk menatap layar digital (berdasarkan laporan Digital 2023 dari We Are Social). Bayangkan jika satu jam saja digunakan untuk refleksi – membaca, menulis jurnal, atau sekadar duduk dalam diam. Ah, tapi siapa yang punya waktu untuk diam di zaman yang berisik ini?

Teman saya seorang CEO startup teknologi mengaku insomnia kronis. “Saya tidak bisa tidur tanpa memasang podcast atau video YouTube,” katanya. Keheningan terasa menakutkan baginya, karena dalam sunyi, pertanyaan-pertanyaan eksistensial mulai bermunculan. “Untuk apa semua ini?” – pertanyaan yang lebih menakutkan dari target revenue yang tak tercapai.

Kita sering menghindari refleksi karena takut dengan apa yang akan kita temukan: kekosongan, ketidakpastian, atau lebih parah lagi, kenyataan bahwa kita telah menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak penting. Lebih mudah terus berlari dan mengabaikan panggilan untuk berhenti sejenak.

Dari jendela kafe tempat saya menulis ini, terlihat sekumpulan anak muda dengan seragam sekolah. Mereka duduk bersebelahan, tapi interaksi mereka sebatas menunjukkan layar ponsel satu sama lain. “Lihat deh, lucu!” – sambil menunjukkan video kucing berdurasi 10 detik. Kemudian kembali tenggelam dalam dunia masing-masing. Sungguh, telah lahir generasi yang terkoneksi secara digital namun terputus secara eksistensial.

Salah satu murid saya pernah berkata: “Pak, hidup ini seperti gojek. Ada rating bintang lima dan notifikasi ‘Sampai di tujuan.'” Saya tertawa, tapi kemudian tercenung. Betapa anak muda kini memahami kehidupan dengan metafora aplikasi digital. Dalam pandangan mereka, tidak ada ruang untuk keheningan dan kontemplasi. Semua harus instan, terukur, dan “shareable”.

Dalam keriuhan politik Indonesia yang seperti sinetron season ke-75, refleksi kerap menjadi korban. Kita terpolarisasi dalam kubu-kubu, membenci tanpa memahami, mencinta tanpa mengenal. Bertanya “mengapa saya berpendapat begini?” terasa seperti pengkhianatan terhadap kelompok. Ideologi telah menggantikan identitas, dan identitas menjadi penjara bagi pikiran.

Jika Socrates hidup di zaman sekarang, mungkin dia akan jadi influencer yang dibully karena terlalu banyak bertanya. Atau lebih parahnya, dianggap terlalu “berat” dan membuat “tidak nyaman”. Kita lebih memilih kenyamanan ilusi daripada ketidaknyamanan kebenaran.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus meninggalkan kehidupan modern dan bertapa di gunung? Tentu tidak. Refleksi bukan tentang melarikan diri, tapi tentang berani menghadapi. Berani berhenti sejenak dan menanyakan: Apakah yang kulakukan ini selaras dengan nilai-nilaiku? Apakah aku hidup dengan otentik, atau hanya mengikuti ekspektasi orang lain?

Mungkin kita bisa mulai dari hal kecil. Matikan notifikasi selama satu jam sehari. Tulis jurnal. Berjalan kaki tanpa headphone. Minum kopi sambil benar-benar mencicipi rasanya. Percakapan tanpa interupsi ponsel. Kecil memang, tapi dari situlah refleksi bermula – dari kesediaan untuk hadir sepenuhnya dalam momen.

“Hidup yang tidak direfleksikan seperti membaca buku tanpa pernah memahami maknanya—kau mungkin hafal setiap kata, tapi ceritanya tetap asing bagimu.”

Wallahu a’lam…

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

Daftar Pustaka

Han, B. C. (2015). The Burnout Society. Stanford University Press.

Killingsworth, M. A., & Gilbert, D. T. (2010). A wandering mind is an unhappy mind. Science, 330(6006), 932.

Waldinger, R. J., & Schulz, M. S. (2022). The Good Life: Lessons from the World’s Longest Scientific Study of Happiness. Simon & Schuster.

We Are Social. (2023). Digital 2023: Indonesia. Retrieved from https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia

error: Content is protected !!