Koalisi Hati Sebagai Tunas Perdamaian

Arda Dinata

Lebih jauh, bila kita tafakuri dalam relung hati yang paling tersembunyi sekali pun, akan ditemui jawaban kejujuran itu. Adakah yang lebih jujur dari hati nurani, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan ini. Singkatnya, sesungguhnya kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati (keimanan).

Sehingga pantas Imam Turmudzi mengatakan, “Hidupnya hati karena iman dan kematiannya karena kekufuran. Sehatnya hati karena ketaatan dan sakitnya hati karena terus-menerus mengerjakan kemaksiatan. Kesadarannya hati karena dzikir dan tidurnya hati karena kelengahan.” Jadi, imanlah yang harus menjadi dasar dalam membangun koalisi hati ini. Lebih-lebih realitas kehidupan mengajarkan bahwa sesungguhnya hidup itu dibangun atas keberagaman dalam bingkai “kesatuan keimanan”.

Abu Hamid al-Ghazali mengungkapkan, iman adalah pembenaran dengan hati yang kuat, yang tidak ada keraguan padanya, hingga mencapai derajat yakin. Dan, antitesa iman adalah kufur yang merupakan pembangkangan, pengingkaran, dan pendustaan terhadap Rasulullah dan atas sesuatu yang beliau sampaikan. Sedangkan, iman adalah pembenaran seluruh yang beliau sampaikan dan bentuknya ini bersifat plural sesuai dengan pluralitas tingkat takwil bagi wujud ini.

Di sini, inti yang patut disandarkan dalam perilaku membangun kedamaian hidup adalah tafsir akan kesatuan iman itu tidak berarti kesatuan akan jalan dan perangkat serta teknis yang dipergunakan oleh seorang mukmin dalam menghasilkan keimanan. Aktualisasinya, berarti saat di mana kelompok mukmin dalam kehidupan berbangsa lebih memilih “warna tafsirnya” masing-masing. Maka sesungguhnya, bagi dirinya tidak bisa memungkiri atas kesatuan keimanan yang telah diyakininya. Artinya, ketika usaha mewujudkan kedamaian itu secara fisikal berbeda-beda warna dan ”susah untuk dipersatukan,” maka saat itulah jalan harapan satu-satunya adalah berupa mewujudkan terciptanya “koalisi hati” dalam mengambil keputusan untuk kepentingan umat.

* *

KOALISI hati, adalah kata yang indah dan memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa, bila kita mampu mensinergikannya. Misal, seperti apa yang pernah terjadi di Madinah ketika meletakan bentuk masyarakat Islam pertama setelah hijrahnya kaum muslimin ke Madinah. Disanalah terbentuknya persaudaraan antar kaum mukmin sebagai tonggak pertama untuk menegakkan masyarakat baru. Yaitu dengan mempersatukan mereka ke dalam satu ikatan yang kokoh atas dasar rasa cinta dan kasih sayang, sehingga kaum Anshar (penduduk Madinah) terbuka hatinya dan merelakan rumah tempat tinggalnya dimanfaatkan untuk kepentingan saudara-saudaranya dari Makkah (Muhajirin) walaupun diantara mereka tidak ada hubungan rahim.

Pokoknya, atas dasar kecintaan terhadap saudaranya yang berdasar pada iman dan taqwa tersebut, maka kaum Anshar rela sepenuh hati untuk membantu segala keperluan kaum Muhajirin, sehingga akhirnya mereka bersatu dalam bangunan “masyarakat Islam”.
Jadi, adanya koalisi hati yang dibalut keimanan semacam itu adalah sesuatu yang penting untuk kita kedepankan. Lebih-lebih hal ini diperuntukan untuk kebaikan bersama. Tanpa ada koalisi hati, sesungguhnya tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Karena, bukankah perdamian itu sendiri merupakan fitrah dari hati manusia?

Sebenarnya, kekuatan koalisi hati tak hanya terletak pada fitrahnya semata-mata. Tapi, lebih dari itu, hati sendiri pada dasarnya merupakan tunas dari kekuatan kedamaian. Dr. Ahmad Faried, menggambarkan bahwa hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai reaktor pengendali atau remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Oleh karena itu, semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.

Akhirnya, bisa kita bayangkan betapa luar biasanya bila kekuatan kaum mukmin di Indonesia saat ini mampu dipersatukan melalui “bangunan koalisi hati”? Maka tatanan kedamaian itu, tentu akan menjadi cerita indah tersendiri bagi penduduknya. Sehingga tidak berlebihan kalau untuk membangun koalisi hati sebagai tunas perdamaian itu, dibutuhkan keahlian dan kapasitas dari orang-orang yang tidak biasa-biasa saja. Dialah sosok manusia yang mampu merealisasikan “bahasa kejujuran” pada hati nurani, yang disirami dengan iman dan keyakinan penuh kepada Allah, sehingga darinya akan lahir mata air kedamaian yang tidak pernah kering. Pertanyaannya, mau tidak kita mewujudkannya? Wallahu a’lam. [Arda Dinata]. ***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!