Masalah Diverifikasi dan Ketahanan Pangan (2)
Pertama, sangat erat kaitanya dengan pelestarian swasembada beras. Diversifikasi pangan, berarti tidak hanya bergantung pada beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Hal ini, sebagai antisipasi bila sewaktu-waktu terjadi kemunduran produksi beras seperti akibat bencana alam, mewabahnya hama penyakit, kemarau panjang, menghilangnya areal lahan sawah subur di Jawa, dan sebab lainnya. Data BPS menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian selama sepuluh tahun terakhir di Jawa telah menyusut sekitar 0,5% per tahun atau sekitar 7.000 hektar per tahun.
Kedua, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka tidaklah cukup guna membentuk sumber daya manusia berkualitas, kita hanya menghandalkan konsumsi dari kelompok tertentu. Di sinilah, perlunya diversifikasi pangan, sehingga nilai gizinya diperhitungkan sesuai dengan norma kecukupan gizi atau pola pangan harapan (PPH).
Menurut hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta (1993), menetapkan bahwa secara ideal komposisi pangan yang dikonsumsi adalah beras atau padi-padian lainnya 50%; umbi-umbian 5%; pangan hewani 15,3%; lemak serta minyak 10%; gula 6,7%; kacang-kacangan 5%; buah atau biji berminyak 3%; serta buah dan sayuran 5%. Dalam kenyataannya komposisi pola konsumsi pangan penduduk Indonesia belum mencapai standar PPH tersebut?
Ketiga, melalui diversifikasi pangan, maka akan membantu dalam upaya menjamin pemasaran produksi pangan yang lain seperti palawija yang dihasilkan oleh masyarakat petani di daerah kering atau ikan di daerah pantai.
Keempat, tercapainya keberhasilan program diversifikasi pangan pada gilirannya akan membuka peluang semakin besar bagi dunia lapangan kerja. Lantaran pelaksanaan program diversifikasi ini dapat melibatkan rantai panjang, sehingga membutuhkan tenaga kerja, termasuk dalam distribusi maupun pemasarannya. Selanjutnya, program ini dapat berperan sebagai penekan golongan urban dan membantu mereka yang telah diberhentikan atau putus hubungan kerja dari tempat asal kerjanya. Bagaimana menurut Anda?***
Penulis adalah dosen tutor di Akademi Kesehatan Lingkungan [AKL] Kutamaya dan bekerja di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Depkes. R.I.