Opini

Membangun Perbankan Syariah dengan Filosofi Kemitraan

Keempat, bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Kelima, jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban dapat dikenakan sanksi administrasi.

Sementara itu, penerapan model mudharabah ini dapat dicontohkan sebagai berikut: seorang pedagang yang memerlukan modal berdagang dapat mengajukan permohonan pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah. Bank bertindak sebagai shahibul maal dan nasabah selaku mudharib. Caranya, dihitung dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal Rp 20 juta diperoleh pendapatan Rp 5 juta per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2 juta. Selebihnya, dibagi antara bank dan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.

Penerapan demikian, tentu sesuai syariah. Hal ini seperti diamanatkan Allah dalam QS. Al-Muzzamil [73]: 20, “….Dan jika dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…..” atau QS. Al-Jumuah [62]: 10, “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT…..”

Sementara itu, dalam hadis riwayat Thabrani disebutkan diriwayatkan dari Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya.

Dari Shalih bin Suaib ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan rumah bukan dijual.” (HR. Ibnu Majah).

Adapun musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Saad Al-Harran: 1995). Musyarakah ini dikenal juga dengan istilah sharikah atau syirkah.

Dalam catatan Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI (2001), musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagi keuntungan maupun kerugian.

Dalam penerapan sistim bagi hasil model musyarakah ini, secara teknik perbankan ada empat hal yang perlu diperhatikan. Keempat hal itu, seperti ditulis Heri Sudarsono (2003: 53) menyangkut: Pertama, bentuk umum dari usaha bagi hasil musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.

Kedua, termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

Ketiga, secara spesifikasi bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepemilikan (property), peralatan (equipment) atau intangible asset, seperti hak paten atau goodwill, kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Keempat, dengan merangkum seluruh kombinasi dan bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.

Yang jelas, secara umum sistim musyarakah ini semua modal dijadikan satu menjadi modal proyek dan dikelola secara bersama-sama. Artinya setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.

Berkait dengan pemilik modal yang menjalankan proyek musyarakah, Heri Sudarsono berpesan ia tidak boleh melakukan tindakan, seperti: (1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi. (2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal. (3) Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain.

(4) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila; menarik diri dari perserikatan, meninggal dunia dan menjadi tidak cakap hukum. (5) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama, keuntungan dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal. (6) Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

Adapun penerapan model musyarakah ini dapat dicontohkan seperti berikut. Pak Ali, seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Untuk merealisasikan usaha itu dibutuhkan modal Rp 150 juta. Ternyata, setelah dihitung, Pak Ali hanya memiliki Rp 75 juta atau 50 persen dari modal yang diperlukan. Dan Pak Ali kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan model musyarakah.

Dengan demikian, kebutuhan modal sejumlah Rp 150 juta dipenuhi 50 persen dari nasabah dan 50 persen dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati bank.

Apabila keuntungan yang diperoleh dari proyek bersangkutan adalah Rp 25 juta dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati ialah 50:50, maka pada akhir proyek Pak Ali harus mengembalikan dana sebesar Rp 75 juta (dana pinjaman modal) ditambah Rp 12,5 juta (50 persen dari keuntungan untuk bank).

Penerapan seperti di atas, tentu sesuai dengan syariah. Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa [4]: 12, yang artinya: “….Maka mereka berserikat pada sepertiga….” Dalam ayat lain disebutkan: “….Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh…..” (QS. Shaad [38]: 24).

Sementara itu, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya’”. (HR. Abu Dawud).

Catatan akhir

Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akad utama berupa al-Mudharabah dan al-Musyarakah. Dengan konsep perbankan yang sesuai syariah seperti itu, tampak bahwa bank syariah dirasakan akan saling menguntungkan secara sehat dan jelas diantara kedua pihak, yaitu bank dan nasabahnya karena prinsip saling bermitra bagi hasil.

Akhirnya melalui penerapan sistim ekonomi (baca: bagi hasil) yang sesuai syariah itu, kita dapat menjamin distribusi ekonomi yang lebih adil dan merata. Dapat memperkecil hutang Indonesia terutama himpitan bunga dan tambahan pokok pinjaman, sebab sistim ekonomi Islam adalah bagi hasil. Masalahnya, sudahkah informasi mulya itu dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat muslim Indonesia? Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!