Pastikan Kita Masuk “Surga”!

Arda Dinata

Sementara itu, amanat diartikan tidak sekedar memelihara atau menjaga sesuatu yang dititipkan. Tapi, dalam pandangan Al-Ghazali, amanat mempunyai makna yang luas. Bisa berupa perhatian seseorang terhadap tanggung jawab yang dipikulnya. Baik dalam bentuk pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang disyariatkan Allah SWT. dalam Alquran maupun hadis.

Sehingga dapat dikatakan, bila seseorang melaksanakan amanat berarti melaksanakan berbagai ketentuan Allah yang telah diamanatkan. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. menjelaskan, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta milik tuannya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Bukhari).

Syarat masuk surga lainnya ialah berupa memelihara kehormatan dan menjaga perut. Orang yang menjaga kehormatan dirinya secara baik akan mendapat kedudukan yang mulia dalam masyarakat. Realitasnya memperlihatkan, betapa banyak orang yang hancur kehidupan dan masa depannya akibat dari tidak mampu menjaga kehormatannya. Singkatnya, kehormatan merupakan harga diri yang mulia. Dalam Islam sendiri, perilaku memelihara kehormatan diri ini digolongkan wajib hukumnya.

Kata kehormatan (baca: al-farj) di dalam hadis tersebut, sebenarnya memiliki arti lebih khusus sebagai alat kelamin (seks). Artinya, orang haruslah memelihara alat kelamin agar tidak digunakan pada yang haram. Dampaknya, apabila seks bebas berkembang di masyarakat akan timbul kegoncangan di dalam kehidupannya.

Sedangkan kata perut sendiri, lebih merupakan simbol dari sesuatu yang masuk ke dalam perut (baca: makanan). Sehingga makanan harus menjadi perhatian yang serius. Tepatnya, setiap muslim harus hati-hati terhadap segala sesuatu yang dikonsumsi tubuhnya. Apakah halal atau haram, sebab ketidak halalan tersebut akan berakibat buruk bagi jiwanya.

Dalam konteks ini, Rasulullah pernah mengatakan, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka nerakalah tempatnya.” Di sini, kata neraka itu tidak hanya berarti neraka di akhirat, tapi juga “neraka dunia” (kegoncangan jiwa, kekerasan, kehancuran, dll). Lebih jauh, menurut Muslim Nasution, makanan yang haram akan membuat jiwa selalu tak pernah puas, malas beramal saleh, tak mau beribadah, tak patuh pada aturan, tumpul rasa jiwanya, dll.

Langkah terakhir untuk masuk surga menurut hadis di atas adalah berupa menjaga/mengawasi lidah. Sebab, lidah merupakan simbol dari kata atau ucapan manusia. Arti lainnya, kata-kata atau ucapan yang dikeluarkan haruslah dijaga jangan sampai menggoncangkan, menggelisahkan masyarakat, tidak mengucapkan yang batil dan tidak benar. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhirnya, dengan melaksanakan keenam langkah atau perilaku tersebut, semoga seperti kata Nabi Saw. pastikan kita masuk surga! Amin. Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!