Inspirasi

Zaman Edan dan Predikat Religius Indonesia

PREDIKAT negeri yang religius, beradab dan bermoral merupakan sesuatu yang menyejukkan sekaligus membikin hati ini berbangga diri. Siapa sih orangnya yang tidak mau menerima predikat semacam itu. Namun demikian, bukan berarti tidak ada konsekuensi yang mesti dinilai melalui bahasa tingkah laku.

Oleh: Arda Dinata

Adanya predikat religius yang melekat dalam keseharian negeri ini, harusnya telah melahirkan suatu temperamen keteladanan dari mereka yang bersemayam di dalamnya. Keteladanan adalah bahasa tingkah laku yang adil dan tidak akan mudah dibohongi. Di kala negeri ini sangat sulit menemukan pigur dari predikat kereligiusannya, maka hati kecil kita pasti gelisah dan perih untuk menerima kenyataan serta mempertanggung jawabkan “buku religius” yang kepalang mendera rapor negeri ini.

Sungguh tidak sedikit, keganjilan dan kemunafikan itu muncul dan bertebaran di sisi-sisi kehidupan rakyat Indonesia. Mulai dari kalangan bawah sampai (lebih-lebih) kalangan elite yang sering kali terekspos oleh berbagai media massa. Korupsi, praktek amoral, hilangnya kedamaian dan kasih sayang sesama manusia —seperti yang diusung ajaran Pancasila— hanyalah sebuah nyanyian anak-anak jalanan. Ia hanya untuk mendapat pujian dan imbalan alakadarnya. Yang kadangkala ia berujung cacian dan tak bernilai sepeserpun.

Memang dalam hidup ini, seperti diakui Muhammad Subarkah, sepanjang matahari masih bersinar, kejahatan dan perbuatan anomali lainnya memang akan terus ada. Dan ceritanya tidak ada yang baru, tetap berkisar pada lingkup wilayah yang ada di sekitar pakaian dalam wanita: underrok. Dengan segala kemasan teknik cerita, alurnya akan sama saja. Persis syair lagu lama yang diulang terus-menerus.

Kota Sarang Maksiat

“Bacalah buku, maka Anda akan mendapat sesuatu yang baru,” ujar seorang bijak. Buktinya, memang benar. Dengan membaca buku kita mendapatkan sesuatu (bisa informasi atau fakta) baru yang dapat membuat hati ini menjadi tenang atau sebaliknya menjadi gelisah karena berisi kemunafikan yang terjadi antara kenyataan dan isi buku.

BACA JUGA:  Saling Memaafkan = Kebahagiaan

Paling tidak, hal itu didapat ketika Anda membaca buku karya Moammar Emka (2003), seorang santri dan jebolan IAIN Jakarta, yang berjudul: “Jakarta Undercover: Sex ‘n the City”, hati kita akan gelisah membaca fakta-fakta kemaksiatan yang terjadi di ibu kota Jakarta.

Melalui karya jurnalistik Jakarta Undercover-nya itu, Moammar tanpa basa-basi malah mengatakan bahwa Jakarta sama brengseknya dengan ‘kota-kota bangsat’ dunia lainnya. Dalam bahasa Subarkah, Moammar memang diakui sebagai manusia ‘berhati singa’. Santri ini berani berterus terang bahwa Jakarta, meski tetap mengumandangkan adzan lima kali sehari, ternyata sudah tidak lebih dari Hongkong, Las Vegas, atau New York. Semua tidak ada bedanya. Bahkan terkesan menjadi lebih seram, karena anomali itu dilakukan di tengah suasana klaim khotbah religius dari para pengelola kotanya. Tak peduli itu orang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, animisme, atau penganut agnostik sekalipun. Meskipun bejat, Jakarta enggan mengakui dirinya sebagai kota sarang maksiat.

Paling tidak, kita akan merinding tak kala melahap isi buku karya Moammar ini. Pasalnya, kita akan dibawa dalam cerita realitas kehidupan malam kota Jakarta. Moammar menceritakan sedikitnya 24 model ‘ritual’ seks di dunia malam yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya.

Ada pesta nudies bawah tanah. Pesta ini dilakukan oleh puluhan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pesta yang semuanya telanjang bulat. Tarifnya sangat mahal, karena untuk menjadi members selama enam bulan, seorang peserta harus membayar Rp 50 juta dengan pesta minimal dua kali.

Ada juga ‘Arabian Nite Bachelor Party’. Ini adalah pesta melepas ‘lanjang’ bagi laki-laki, sebelum ia melaksanakan pernikahan yang sah. Dinamakan ‘Arabian Nite’ karena wanita-wanita yang melayani kaum lanjang itu menggunakan cadar, namun mereka hanya menggunakan BH dan celana model Aladin dengan perut terbuka. Tarifnya Rp 20 juta untuk satu paket.

BACA JUGA:  Dahsyatnya Surat Al-Ikhlas

Selain itu, ada ‘Seks Bulan Madu Pajero Goyang’. Ini adalah gaya permainan seks di atas mobil-mobil mewah sekelas Pajero, BMW, atau Mercy sambil berkeliling kota Jakarta dengan tarif Rp 5 Juta. Pemilik bisnis ini mendesain mobil-mobil mewahnya menjadi sebuah kamar yang dengan jok kemudinya disekat sedemikian rupa. Ada pula ‘Seks Sandwich Sashimi Girls’, yakni sebuah pesta di mana daging sashimi (masakan khas Jepang) disuguhkan di atas wanita cantik yang tanpa sehelai pun busana. Itu baru pembuka sebelum pesta perayaan pelampiasan nafsu dilakukan.

Itulah beberapa fakta yang membikin merinding bila kita membacanya. Jadi, ibu kota Jakarta benar-benar ibarat makanan gado-gado, semua tumplek menjadi satu. Ekstrimnya, meminjam bahasa Subarkah, jangankan cuma cari surga dunia, di Jakarta neraka dunia pun tersedia! Naudzubillah.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!