Zaman Edan dan Predikat Religius Indonesia
Zaman Edan
Berbagai kerusuhan, pembunuhan, perzinaan, dan kemelut keresahan masyarakat di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya kerap kali terjadi. Fenomena ini merupakan pertanda zaman fitnah (baca: edan) seperti yang pernah disabdakan Rasulullah saw. Sayangnya, masyarakat kurang memperhatikan sabda beliau sehingga tidak siap untuk menghadapi dan mengantisipasinya. Bahkan, di antara kita tidak jarang larut dalam keedanan.
Harusnya kita sadar betul akan makna hidup di dunia. Yakni kita diajarkan bahwa lingkungan alam merupakan politik yang paling adil. Artinya setiap kejadian alam yang terjadi harus menjadi bahan tafakur buat diri kita masing-masing. Sebagai contoh, bencana yang terjadi di kota Jakarta dan beberapa daerah lainnya, haruslah ditafakuri sebagai suatu cermin diri atas derajat religius perilaku kita. Bisa jadi, itu semua menjadi peringatan, pelajaran, atau azab yang menimpa kita. Inilah pelajaran hidup berlandaskan hikmah.
Aktualitasnya, bisa kita renungkan. Dulu, kota Jakarta paling tidak kalau musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kebakaran. Tapi, belakangan ini, pada satu musim —baik musim kemarau ataupun hujan—, kedua bencana itu sering kali terjadi bergantian. Oleh karena itu, kita hendaknya harus mampu memaknai gejolak kehidupan yang mengarah pada ciri-ciri zaman edan tersebut dengan sikap yang bijaksana.
Dari beberapa keterangan hadis Rasulullah saw, kita menemukan tentang akan datangnya suatu masa atau zaman yang penuh dengan berbagai fitnah. Makna fitnah, ini bisa bermakna merajalelanya kerusuhan, pembunuhan, dan segala macam kemaksiatan, sehingga orang-orang beriman menghadapi tantangan luar biasa. Yang mengakibatkan mereka bingung menghadapi keadaan ini. Rasulullah saw menggambarkan banyak orang yang pagi harinya beriman, tetapi sore harinya kafir, atau sebaliknya.
Keadaan tersebut, diterjemahkan secara bebas oleh Drs.M Thalib (2000), dengan kata zaman edan. Dalam bahasa Indonesia kata edan menggambarkan orang yang tidak berakal atau melakukan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan akal sehat.
Lebih jauh M Thalib dalam buku “25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah Menghadapinya”, mengungkapkan ciri-ciri zaman edan itu diantaranya: masyarakat berebut mengumpulkan harta; umat Islam lebih cinta dunia dan benci mati; orang shalih lenyap; orang mencari ilmu Islam dari ahli bid’ah; banyak penyeru kesesatan; masjid dan Alquran hanya menjadi hiasan; muslim berat berpegang teguh pada sunnah Rasulullah; banyak terjadi kudeta; banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin; penguasa memerintah tanpa ilmu dan menggunakan orang jahat sebagai pendukungnya; egoisme merajalela; banyak orang merusak janji dan amanah; watak plin-plan merajalela; banyak orang makan dengan lidahnya; perempuan miskin memaksakan diri meniru perempuan kaya; hiburan maksiat merajalela; perzinaan di mana-mana; yang kuat memakan yang lemah; kedurjanaan dan kedzaliman merajalela; sendi-sendi moral hancur; banyak terjadi kelaparan; banyak penyakit lumpuh dan kematian mendadak; keputusasaan merajalela; umat Islam saling bunuh; dan terjadi pembersihan etnis Arab di negeri ‘Ajam.
Menyimak ciri zaman edan itu, setidaknya ada tiga karakter yang sangat mendukung terhadap fakta yang diungkap dalam bukunya Moammar bahwa kota Jakarta sedang diselimuti zaman edan. Pertama, hiburan maksiat merajalela. Dari ‘Imran, ujarnya: Seorang laki-laki muslim berkata (kepada Rasulullah): “Wahai Rasulullah, kapan hal semacam itu (zaman edan) terjadi?” Sabdanya: “Bila penyanyi-penyanyi perempuan, segala macam alat musik berdawai, dan minuman keras telah merajalela.” (H.R. Tirmidzi).
Kedua, perzinaan di mana-mana. Dari Abu Hurairah, ujarnya: Nabi saw bersabda: “Demi Tuhan yang menggenggam diriku, umat ini tidak akan binasa sampai kelak terjadi seorang laki-laki mendatangi seorang perempuan, lalu menidurinya di jalanan, sedangkan orang-orang yang baik di antara mereka pada saat itu berkata: ‘Alangkah baiknya saya bersembunyi di balik pagar.’” (H.R. Abu Ya’la).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra., ujarnya: Rasulullah saw pernah bersabda: “Sungguh akan datang atas umatku –seperti—apa yang telah datang atas kaum Bani Israil selangkah demi selangkah, sehingga jikalau ada dari mereka itu orang yang mendatangi (mencampuri) ibunya dengan terang-terangan, niscaya ada pula di antara umatku yang mengerjakan demikian ….” (H.R. Tirmidzi).
Ketiga, sendi-sendi moral hancur. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah sungguh-sungguh membenci perbuatan keji dan perkataan keji. Demi Tuhan yang mengenggam diriku, kiamat tidak akan terjadi sehingga orang yang amanah disingkirkan, tetapi orang yang khianat dipercayai, dan perbuatan keji serta perkataan keji, putusnya tali persaudaraan, dan tetangga yang jahat meluas di mana-mana.” (H.R. Ashbahani).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ujuarnya: Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat sehingga perzinaan, putusnya tali persaudaraan, tetangga yang buruk meluas di mana-mana, dan orang yang amanah disingkirkan.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana halnya dengan orang mukmin?” Sabdanya: “Dia laksana lebah, hinggap tetapi tidak merusak, memakan tetapi tidak merusak, dan mengeluarkan yang baik.” (H.R. Bazzar).
Dengan demikian, pantaskah negeri ini tetap menyandang predikat religius, sementara perilaku masyarakatnya jauh dari sikap-sikap religius? Semoga dengan memahami kondisi zaman edan yang digambarkan melalui hadis-hadis Rasulullah saw tersebut, akhirnya kita mendapatkan petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya bersikap dan memilih langkah hidup yang benar dan Islami, berkait dengan fenomena masyarakat yang terjadi dewasa ini. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.