Buatlah Diri Ini Rela
Biarkan hari-hari bertingkah semaunya. Buatlah diri ini rela ketika ketentuan-Nya bicara. Dan jangan gelisah dengan kisah malam. Tidak ada kisah dunia ini yang abadi(Imam Syafi’i).
Oleh: Arda Dinata
UNGKAPAN imam syafi’i tersebut, paling tidak merupakan obat penghilang kegelisahan hari-hari yang kita jalani. Memang, dunia ini bukan milik kita. Dunia ini milik Allah semata-mata. Dia yang berkehendak lagi punya ketetapan. Sehingga siapa pun orangnya tidak berhak “bertanya” mengapa Allah memutuskan ini dan itu terhadap kita. Namun, yang jelas justru kitalah yang kelak akan ditanya.
Untuk itu, dalam mementaskan hidup ini, kita hanya berusaha untuk menyambungkan ikhtiar demi ikhtiar. Membentangkan rangkaian usaha maksimal kita. Di sini, perlu digaris bawahi bahwa pada ujung usaha dan puncak ikhtiar itu tidak lantas mesti langsung berhubungan dengan keberhasilan yang diusahakan.
Artinya, apa pun kehendak Allah bagi seorang mukmin selalu baik. Apa pun wujud kehendak itu, baik yang menyenangkan (tentu baik untuk kita). Tapi, tidak sebatas itu, kehendak-Nya yang terlihat tidak menguntungkan pun ternyata ada kebaikan yang Allah “paksakan” bagi diri kita. Sebab, bukankah hanya Dia yang mengetahui sesuatu yang terbaik buat kita?
Pokoknya, hidup adalah pilihan. Keberadaan nilai hidup itu sendiri sesungguhnya yang mengantarkan pilihan menjadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Permasalahannya ada pada bagaimana kita memandang dan menilai hidup itu. Bila hidup itu dipandang sebagai fase satu-satunya yang sementara bagi manusia sebelum memasuki dunia akhirat, maka otomatis pilihan apapun dalam hidup ini menjadi penting dan menentukan.
Untuk itu, buatlah diri ini rela atas ketentuan-Nya. Dan agar kita tidak salah memilih dalam mementaskan hidup, berikut ini paling tidak ada tujuh langkah yang dapat kita lakukan.
1. Pelihara lintasan pikiran untuk tetap mengarah pada kebaikan.
Lintasan pikiran adalah tangga pertama yang akan mengantarkan seseorang pada niat dan sikap. Dalam tahap ini semua orang akan mengalaminya (lintasan pikiran baik maupun yang buruk). Jika hanya sebatas lintasan berbuat buruk, itu wajar dan manusiawi. Allah juga tidak mencatat hal itu sebagai suatu dosa. Namun bila kurang waspada, lintasan hati itu kerap berkembang menuju tahapan dialog batin (baca: dialog antara keinginan melakukan kebaikan atau keburukan). Terjadilah benturan antara bisikan setan untuk melakukan keburukan dengan bisikan malaikat dan akal sehat untuk tidak melakukan keburukan. Bila dalam benturan ini, nafsu keburukan dan bisikan setan yang menang, maka muncullah niat.
2. Pertimbangkan suatu pilihan dengan ilmu.
Menentukan suatu pilihan pasti dengan timbangan informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Informasi yang keliru atau minimnya pengetahuan akan membawa kita pada pilihan yang salah. Setidaknya, kita harus mengetahui kategori kesalahan yang termasuk dosa besar dan dosa kecil.
Ibnu Quddamah dalam Minhajul Qashidin mengutip uraian tentang dosa besar yang disebutkan oleh Abu Thalib Al Makky. Katanya, “Dosa-dosa besar itu ada tujuh belas. Saya menghimpunnya dari sejumlah atsar. Empat macam ada di dalam hati, yaitu: syirik, terus-menerus melakukan kedurhakaan, putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari tipu daya Allah. Empat macam ada di lidah, yaitu: kesaksian palsu, menuduh wanita yang baik-baik, minum khamar, makan harta anak yatim dengan zalim dan memakan riba. Dua macam ada di kemaluan yaitu zina dan seks dengan sejenis. Dua macam ada di tangan yaitu membunuh dan mencuri. Satu macam ada di kaki yaitu melarikan diri saat pertempuran. Satu macam ada di seluruh badan yaitu durhaka pada orangtua.”
3. Berdoa memohon petunjuk Allah.