Inspirasi

Budaya, Banjir, dan Trisakti Manusia

Oleh karena itu, manusia harus yakin akan firman-firman alam dan ketentuan Sang Maha Pencipta. Bukankah, jauh-jauh hari Allah SWT melalui Alquran telah memberi pedoman dalam memfungsikan “kebudayaan” manusia itu pada pelbagai sisi kehidupan. Diantaranya bagaimana hubungan manusia dengan pencipta-Nya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam semesta, dan lainnya.

Untuk itu, harus kita akui bahwa banjir yang terjadi belakangan ini merupakan akibat ketidakmampuan atau akibat ulah manusia sendiri yang tidak bertanggungjawab. Dalam kitab Umat Islam, surat Ar-Rum: 41 telah diungkapkan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Kalau kita mau jujur, betapa nyata dan telah kita rasakan bersama akan kebenaran firman-Nya tersebut!

* *

DALAM tataran manusia berbudaya dan terjadinya bencana alam belakangan ini, tentu merupakan sebuah cerminan dari sesuatu hal yang salah dan tidak dioptimalkannya akan kekuatan trisakti yang dimiliki oleh tiap manusia tersebut.

Dalam hal ini, seperti pernah diungkap Ki Hadjar Dewantara, bahwa jiwa manusia telah merupakan “differensiasi” kekuatan-kekuatan terkenal dengan “trisakti”; dan tiga kekuatan itu meliputi: fikiran, rasa dan kemauan atau “cipta-rasa-karsa”. Trisakti inilah yang disebut budi.

Untuk itu, setiap kalangan hendaknya menempatkan dan memfungsikan setiap budi-nya itu dalam pola budaya hidupnya. Lebih tepat, upaya optimalisasi kekuatan “trisakti” manusia itu, juga merupakan sesuatu yang mesti kita bangun sebagai solusi pengendalian bencana yang telah terjadi dewasa ini. Karena tanpa mengoptimalkan kekuatan trisakti ini, maka bukan saja manusia tidak akan memperoleh predikat makhluk berbudi (baca: berbudaya), tapi lebih dari itu, ia akan menjadi tumbal dan menuai kesengsaraan dari buah perilaku yang tidak berbudi dan penempatan potensi daya-nya yang tidak tepat.

Kita yakin, adanya kekuatan trisakti sebagai pembentuk budi manusia tersebut, tidak saja berkuasa untuk memasukkan segala isi alam yang ada di luarnya ke dalam jiwanya —dengan perataraan “paca inderanya—, namun berkuasa pula untuk “megolah” atau “memasak” segala isi alam yang memasuki jiwanya itu, hingga menjadi “buah”, dan buah budi manusia itu disebut kebudayaan.

Untuk itu, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi proses intropeksi peggunaan secara benar akan kekuatan trisakti manusia itu. Yang kemudian kita optimalkan kekuatan tersebut sehingga terbentuk peradaban manusia yang berbudaya, yaitu melalui pola pikir dan analisis intelektual yang telah diberika-Nya.

Mengakhiri tulisan ini, kiranya perlu kita renungkan apa yang telah dirumuskan dalam Musyawarah Antar Seniman Budayawan Islam bahwa “Kebudayaan ialah manifestasi dari ruh, zauq, iradah dan amal (cipta, rasa, karsa, dan karya) dalam seluruh segi kehidupan insani sebagai fihtrah, ciptaan karunia Allah.” Latas, melihat kodisi sekarang, betulkah kita termasuk manusia berbudaya? Bagaimana menurut Anda?***

Penulis adalah dosen tutor di Akademi Kesehatan Lingkungan [AKL] Kutamaya dan bekerja di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Depkes. R.I.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

One thought on “Budaya, Banjir, dan Trisakti Manusia

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!