Dampaknya, bila terjadi perubahan pada salah satu komponen sistem lingkungan tersebut, maka seluruh komponen lain akan ikut berubah.
Dalam hal ini, anak cucu kita, tentu tidak akan terkena dampak yang cukup bermakna bila setiap kita melakukan perlakuan terhadap kehidupan ekosistem dan komunitas alam secara agroperhutanan. Dan justru sebaliknya, ia akan menikmati buah perlindungan dari nenek moyangnya.
Dalam konteks ini, tentu cukup singnifikan apa yang dinyatakan Soemarwoto, bahwa agroforestry (agroperhutanan–Pen) ini memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat pedesaan. Dengan perkataan lain, tata guna lahan tersebut memiliki fungsi ganda. Diantara fungsinya, adalah berupa menahan erosi tanah, mengatur sistem hidrologi, melakukan pencagaran atau konservasi plasma nutfah, dan memberikan efek positif kepada iklim mikro.
Selain itu, fungsi lainnya yang tidak kalah penting adalah memberikan fungsi sosial-ekonomi yang sangat berarti bagi penduduk pedesaan, misalnya berupa menghasilkan produksi untuk menopang kehidupan penduduk, atau menghasilkan produksi komersil dan produksi yang dapat diperjual belikan.
Adapun gambaran tata guna lahan yang menggunakan sistem agroperhutanan (baca: ditanami oleh aneka ragam jenis tanaman, baik tanaman semusim maupun tahunan), diantaranya meliputi bentuk tanaman yang menyusun bagian paling bawah adalah jenis tanaman merambat di permukaan tanah, seperti ubi jalar. Pada bagian atasnya terdapat tanaman semak-semak perdu yang memiliki tinggi kurang dari satu meter, seperti talas, ganyong, lengkuas, jahe, leunca, cabe rawit, dll.
Sementara itu, pada bagian atasnya lagi, terdapat jenis tanaman lain yang memiliki tinggi 1-2 meter, seperti singkong, jagung, dll. Sedangkan di atas tajuk-tajuk tanaman tersebut terdapat tanaman yang memiliki ketinggian 2 – 5 meter, misalnya jeruk, pepaya, dll.
Pada bagian kanopi yang lebih atas ada tanaman buah-buahan, kayu bakar, dan bahan bangunan, seperti: mangga, rambutan, nangka, petai, albasiah, bambu, dll. Adapun di bagian tajuk tanaman yang teratas diisi oleh jenis tanaman yang memiliki ketinggian lebih dari 8 meter, contohnya pohon kelapa dan aren.
Akhirnya, dengan adanya pola agroperhutanan ini, maka akan membuat rakyat di suatu daerah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lokal yang melakukan hubungan dengan lingkungan alam secara berkelanjutan dan lestari. Semoga ya….!!!***
Arda Dinata, pemerhati masalah lingkungan, bekerja di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Depkes.R.I. dan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undip Semarang.
*) Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Artikel Ilmiah Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) 2010 Komisariat Cirebon.