Kasus Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Perlindungan Asap Rokok Orang Lain (AROL) dan Pengurangan Kebiasaan Merokok di DIY
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Penyusunan agenda kebijakan hendaknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
Di sini, terlihat peran media dalam proses penyusunan kebijakan belum diberdayakan secara maksimal. Padahal, menurut Glen Snyder bahwa pembuat keputusan bertindak sebagai respons terhadap kondisi dan faktor-faktor yang terjadi di luar lingkungan internal pemerintah tempat mereka yang terlibat. Setting internal dideskripsikan sebagai lingkungan manusia yang terdiri dari kultur budaya dan populasi, yang secara otomatis di dalarnnya termasuk opini publik.
Dalam hal ini, media bisa dikategorikan sebagai komponen terbesar dari lingkungan internal kebijakan. Media dapat digambarkan sebagai alat yang menunjukkan interpretasi dan ekspektasi aktor non –pemerintah dari berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana dapat pula digunakan sebagai alat untuk menyosialisasikan kebijakan dan agenda oleh pemerintah.
3. Konsep Proses.
Secara konsep proses kebijakan, sebenarnya Raperda KTR sudah masuk di Prolegda dan sudah dibahas di DPR namun akhirnya bermasalah pada saat menjelang disahkan (proses finalisasi) ditandai dengan beberapa fraksi tidak mau menanda tangani.
##
Di sini, apabila kita gabungkan pernyataan mengenai kebijakan publik dan partisipasi sebagai salah satu bentuk peran serta masyarakat maka kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah dalam perumusan kebijakan publik, maka dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan pemerintah harus mengikutsertakan masyarakat untuk turut berpartisipasi karena pembuatan kebijakan publik ini.
Dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang telah mengalami perubahan pada UU No 32 tahun 2004 telah memuat tentang asas desentralisasi dimana UU ini menjalankan amanat UUD RI 1945 amandemen ke IV pasal 18 yaitu dengan cara menjalankan otonomi daerah dimana setiap daerah diberi kebebasan untuk mengurus Rumah Tangga Daerahnya sendiri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 69 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No 32 tahun 2004 menyaakan bahwa “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan juga penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi”.
Dalam pasal 18 menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang antara lain, “Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah”. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf d, DPRD mempunyai hak mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Daerah”. Dari ketiga peraturan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah Daerah (Eksekutif) berperan dalam membentuk Peraturan Daerah, sedangkan DPRD mempunyai hak memberi persetujuan dan mempunyai hak mengadakan perubahan terhadap materi Peraturan Daerah.
Sedangkan dalam pasal 19 ayat (1) huruf f menyatakan bahwa DPRD (legislatif) juga mempunyai hak “mengajukan Rancangan Peraturan Daerah” atau yang lebih dikenal dengan hak inisiatif DPRD. Hak inisiatif ini hanya terkadang dan sewaktu-waktu dipergunakan DPRD. Terkait dengan itu dalam penyelenggaraa pemerintahan yang demokratis, penyusunan Peraturan Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituangkan dalam Peraturan Daerah. Peran serta dari masyarakat itu tentu akan mempermudah sosialisasi dari penerapan substansi apabila Peraturan Daerah itu ditetapkan dan diundangkan.
Keterlibatan publik dalam Perda, diantaranya adalah:
(1) Publik berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Daerah, mulai dari Proglegda sampai penetapan Perda.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Untuk memudahkan publik dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Peraturan Daerah harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
4. Konsep Konteks.
Secara konsep konteks kebjakan dalam proses pengajuan Raperda KTR, hendaknya dibarengi dengan kajian situasi kondisi politik yang terjadi. Dalam kasus ini, bukankah pada awalnya tidak terjadi permasalahan, namun akhirnya menjadi gagal ketika akan disahkan?
##
Ada hikmah dari proses pembahasan Raperda yang sudah masuk pada Prolegda atau Program Legislasi Daerah, dimana public hearing sudah dilakukan sampai tahap akhir. Namun pada saat akan ditandatangani pada Januari 2013, salah satu partai menyatakan mengundurkan diri (diikuti dengan partai-partai lainnya) karena adanya protes dari masyarakat kretek (petani tembakau). Sampai sekarang Perda tersebut tidak pernah ditandatangani dan anggota DPR sudah berganti.
Berdasarkan hal itu, ada hal yang kurang diperhatikan betul kondisi politik yang ada, yaitu terkait mekanisme penyusunan Perda. Kita tahu, mekanisme penyusunan Perda terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan dan pengundangan.
Dalam UU RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 20 disebutkan bahwa:
(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
(5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.