Antara Penafsiran dan Belajar Kepada Air
TERJADINYA krisis air, jauh-jauh hari telah diprediksikan oleh para ahli lingkungan hidup. Yakni pada beberapa daerah akan terjadi kekurangan air (kekeringan) di musim kemarau dan terjadi banjir pada musim hujan, bila kondisi lingkungan sebagai penyimpan air tidak dikelola dengan baik dan bijaksana.
Oleh: Arda Dinata
Lebih dari itu, sudahkah kita memaknai betul atas keberadaan air di bumi ini? Bukankah, bumi diciptakan dari air sehingga dapat hidup. Adanya air menyebabkan tumbuhan subur, hewan berkembang biak, dan manusia dapat melangsungkan hidupnya. Dalam bahasa Anton Minardi Al-Faruqi (2002), sudah fitrahnya manusia hidupnya menjadi susah apabila kekurangan air. Manusia asalnya dari air. Lahir dari air, sehari-hari makan dan minum dari air, bersuci dengan air, mandi dengan air, bercocok tanam perlu air, orang meninggalpun menggunakan air.
Dari sini, harusnya kita mampu menafsirkan kondisi air secara bijak. Artinya kondisi air tersebut akan dapat bertahan/lestari manakala manusianya (yang diciptakan sebagai khalifah di bumi) dapat memelihara dan melestarikannya secara baik dan benar. Namun, bila hal itu tidak dilakukan maka akibatnya akan imbas terhadap manusia itu sendiri, seperti kekurangan air dan kebanjiran. Arti lainnya adalah kondisi kelebihan dan kekurangan air itu akan sama-sama memiliki dampak (berbahaya) terhadap manusia.
Padahal, seperti diungkap Al-Faruqi, Allah SWT memberikannya (baca: air) dengan gratis asalkan saja beriman kepada-Nya. Lihatlah ke sekeliling kita, pasti di sana terdapat air. Permasalahannya air itu sekarang sudah kotor, bau, penuh limbah dan beracun. Kenapa demikian? Karena ulah manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan air telah ikhlas beserah diri kepada Pencipta-Nya, dan ridha untuk dipergunakan oleh manusia. Hasilnya air itu juga akan siap menjadi rahmat seperti pada zaman keemasan Islam atau adzab seperti pada zaman Nuh AS. bagi manusia, sangat tergantung pada penggunaannya.
Dalam konteks kekinian, kita melihat penggunaan air tanah di Bandung saja cukup memprihatinkan. Salah satunya adalah hampir 90% air tanah di Kota Bandung digunakan untuk keperluan industri serta hotel, termasuk mal dan perkantoran, sehingga kondisi air tanah di beberapa tempat kini mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Menurut hasil penelitian, kandungan air tanah berupa air tanah tertekan dan air tanah bebas di cekungan Bandung (Soreang) pada tahun 2000 masing-masing sebanyak 117 juta m3 per tahun dan 795 juta m3 per tahun. Menurut pantauan yang dilakukan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan (TLGKP), setiap tahun rata-rata penurunan permukaan air tanah mencapai 1-15 m, dan Cimahi, Cijerah, Cibereum, Sayati, Rancaekek merupakan kawasan yang sudah krisis air. “Sejak 1978 hingga 2000 total penurunan air tanah di Kota Bandung mencapai 50 – 80 meter. Di Cimahi Selatan yang menjadi kawasan industri, penurunan permukaan air tanah mencapai 100 meter,” kata Direktur TLGKP Yousana Siagian. (Media Indonesia, 7/7/03).
Dengan demikian, kondisi cekungan Bandung termasuk dalam grade satu bersama-sama dengan Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang tingkat penurunan permukaan air tanahnya mencapai rata-rata 15 m per tahun. Grade kedua diduduki oleh Denpasar, Medan dan Cilegon, penurunan permukaan air tanah kurang dari 15 m per tahun.
Penyakit bawaan air
Sebagian besar (71%) dari permukaan bumi ini tertutup oleh air. Air merupakan sumber daya yang mutlak ada bagi kehidupan. Begitupun tubuh manusia 70% terdiri atas air. Walau demikian, kita tentu tidak berlaku semena-mena dalam menggunakan air, karena kondisi kekurangan dan kelebihan air keduanya sama-sama berakibat fatal terhadap kesehatan manusia. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam air itu terdapat berbagai penyebab suatu penyakit.
Menurut Juli Soemirat Slamet yang mengutip dari Bank Dunia (1989), peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat bermacam-macam, yaitu: Pertama, air sebagai penyebar mikroba patogen. Penyakit menular yang disebabkan oleh air secara langsung di antara masyarakat seringkali dinyatakan sebagai penyakit bawaan air (water borne diseases). Penyakit ini hanya dapat menyebar, apabila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air ini banyak macamnya. Mulai dari virus, bakteri, protozoa, metazoa. Beberapa contoh penyakit “water borne” yang banyak didapat di Indonesia adalah cholera, thypus abdominalis, hepatitis A, poliomyelitis, dan dysentrie amoeba.
Kedua, air sebagai sarang vektor penyakit. Air dapat berperan sebagai sarang insekta yang menyebarkan penyakit pada masyarakat. Insekta ini disebut sebagai vektor penyakit. Vektor yang bersarang di air dan penting di Indonesia, pada umumnya adalah nyamuk dari berbagai genus/spesies. Penyakitnya antara lain filariasis, demam berdarah, dan malaria.
Ketiga, penyakit yang disebabkan kurangnya penyediaan air bersih. Kurangnya air bersih, khususnya untuk menjaga kebersihan diri, dapat menimbulkan berbagai penyakit kulit dan mata. Hal ini terjadi, karena bakteri yang selalu ada pada kulit dan mata mempunyai kesempatan untuk berkembang. Penyakit yang tergolong dalam kelompok ini adalah penyakit trachoma, segala macam penyakit kulit yang disebabkan jamur, dan bakteri. Juga termasuk di sini penyakit scabies yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei, sejenis tungau.
Keempat, air sebagai sarang hospes sementara penyakit. Penyakit yang hospes sementaranya ada di air dan terpenting adalah penyakit cacing schistosomiasis dan dracontiasis.
Sementara itu, penyakit tidak menular yang dapat disebarkan lewat air banyak sekali, tergantung penyebabnya. Penyebab penyakit ini dapat dikelompokkan sebagai zat-zat kimia dan zat-zat fisis. Penyakit yang disebabkan zat kimia banyak sekali ragamnya. Beberapa kejadian epidemis yang pernah dilaporkan, antara lain wabah yang disebabkan keracunan air raksa, cadmium, dan cobalt. (George L. Waldbott; 1973).
Belajar dari Kanada
Berdasarkan uraian di atas, maka sudah sepatutnya kita harus mengelola air secara benar dan berkelanjutan. Bukanya memperlakukan air seperti sekarang, yaitu suatu kondisi yang paradoks, di mana air yang begitu diminati oleh makhluk hidup (termasuk manusia), tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya dan layak.