Bagaimana kita mengatasi persoalan sampah sisa makanan yang turut memperparah perubahan iklim?
Bagaimana kita mengatasi persoalan sampah sisa makanan yang turut memperparah perubahan iklim? Inilah sebuah artikel yang wajib di baca untuk menambah wawasan seputar perubahan iklim.
4 langkah penting agar upaya hutan bebas emisi pada 2030 tak cuma sekadar target
Oleh: Bella Nathania, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Tren emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor limbah, termasuk di antaranya sampah sisa makanan, kian mengkhawatirkan. Selama 2010-2019, angkanya naik hingga 65% dari sekitar 87,6 ribu ke 134,1 ribu gigagram setara CO2/GgCO2e (sekitar 87,6 ke 134,1 megaton setara CO2/MtCO2e).
Menyikapi persoalan tersebut, melalui janji iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui, Indonesia berupaya menurunkan emisi sektor limbah sebesar 0,38% atau 11 MtCO2e tanpa bantuan internasional dari proyeksi emisi mulai dari tahun 2010. Dalam skenario adanya bantuan, target penurunan emisi sektor ini sebesar 1,4% atau 40 MtCO2e.
Terdapat tiga langkah mitigasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah: pemanfaatan sampah organik menjadi gas melalui proses dekomposisi di tempat pembuangan akhir (TPA); pengomposan, upaya daur ulang, penggunaan ulang, dan pengurangan (reduce, reuse, recycle atau 3R) sampah kertas; serta membangun pembangkit listrik berbahan bakar pelet (bahan yang dipadatkan) sampah.
Berdasarkan langkah tersebut, pemerintah tampak belum memprioritaskan penanganan sampah sisa makanan sebagai salah upaya mitigasi perubahan iklim.
Padahal, sampah sisa makanan memiliki komposisi tertinggi dari seluruh jenis sampah di Indonesia (40,2%). Pemerintah justru fokus pada penanganan sampah kertas yang hanya menempati posisi keempat (14%) setelah sisa makanan, plastik, dan kayu/ranting/daun.
Selain itu, sampah sisa makanan memiliki kandungan karbon yang bahkan lebih tinggi ketimbang kertas. Semakin tinggi kandungan karbon, maka akan mempercepat laju pembentukan gas metana.
Persoalan ini pun menjadi berhubungan karena gas metana mendominasi (sekitar 90%) emisi yang dihasilkan sektor limbah. Emisi ini 25 kali lipat lebih buruk dibandingkan karbon dioksida dalam kurun waktu 100 tahun karena lebih memerangkap radiasi sinar matahari ke permukaan bumi.
Pengelolaan sampah jauh dari ideal
Bagaimana kita mengatasi persoalan sampah sisa makanan yang turut memperparah perubahan iklim? Inilah sebuah artikel yang wajib di baca untuk menambah wawasan seputar perubahan iklim.
Indonesia menyinggung rencana pemanfaatan gas metana dari TPA untuk menyalakan kompor rumah tangga ataupun pembangkit listrik.
Sayang, metode pemanfaatan gas metana di tempat masih jauh dari ideal. Sebagian besar TPA di Indonesia masih menggunakan sistem pembuangan terbuka. Sementara, gas baru akan terbentuk maksimal ketika TPA menggunakan sistem sanitary landfill atau menumpuk sampah pada cekungan lalu menutupnya kembali dengan tanah.
Pemerintah seharusnya telah meninggalkan sistem ini pada 2008, satu tahun setelah diundangkannya Undang Undang Pengelolaan Sampah yang melarang TPA dengan sistem pembuangan terbuka.
Selain metode penimbunan, persoalan sampah lainnya ada pada aspek pengangkutan dari rumah atau kawasan tertentu menuju TPA. Emisi berasal dari truk pengangkut sampah yang sebagian besar berbahan bakar diesel.
Berdasarkan studi, di Kota Taipei, Taiwan, pengangkutan 556.700 ton sampah menghasilkan 2.747 metrik ton emisi gas rumah kaca.
Nah, sebagai perbandingan, di Indonesia ada 64 juta ton sampah per tahun atau kurang lebih 128 kali lebih banyak dari sampah yang diangkut di Kota Taipei.
Tentu angka ini bukan merupakan gambaran yang utuh. Sejumlah faktor mempengaruhi tinggi rendahnya emisi, seperti usia kendaraan, kualitas bahan bakar, cara mengemudi, jarak tempuh, serta efisiensi jalur pengangkutan sampah.