Berselancar di Dunia Hati (2)
2. Hubungan kalbu dengan Nafs.
Kata nafs mengandung beberapa makna (jiwa, sukma, diri, nafsu, dan sebagainya).
· Pertama, yang dalam bahasa Indonesia sama dengan kata ‘nafsu’ yaitu mencakup fakultas emosi atau amarah (ghadhab) dan ambisi atau (syahwah)dalam diri manusia. Makna seperti inilah yang sering kali digunakan dikalangan para ahli tasawuf, karena mereka mengartikan kata nafs (nafsu) sebagai sesuatu yang mencakup sifat-sifat tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka menegaskan tentang keharusan melawan nafsu ataupun mengekangnya. Makna demikian, seperti diisyaratkan dalam sabda Nabi Saw., “Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada dalam dirimu.” (HR. Al-Baihaqiy dari riwayat Ibnu Abbas).
Kedua, kata nafs adalah serupa maknanya dengan salah satu makna ‘hati’, yaitu sesuatu yang abstrak dan membentuk diri manusia secara hakiki. Walau demikian, nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan berbagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tentram (dalam menerima ketentuan-Nya) dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram). Seperti dalam firman Allah SWT, ”Wahai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai sepenuhnya.” (QS. Al-Fajr: 27).
Sedangkan apabila ia gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut nafs lawwamah (atau jiwa yang senantiasa mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Tuhannya. “….dan Aku (Allah) bersumpah dengan nafs lawwamah (jiwa yang selalu mengecam) ….” (QS. Al-Qiyamah: 2).
Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan setan, maka ia disebut nafs ammarah bis-su (nafsu yang menyuruh kepada kejahatan). Seperti dalam firman Allah SWT, menirukan ucapan Yusup as. ataupun isteri Al-Aziz, raja Mesir, “….dan aku tidak hendak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53).
3. Hubungan kalbu dengan ‘Aql (Akal).
Kata akal ini memiliki beberapa makna. Pertama, akal berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di hati. Kedua, akal berarti bagian (dari manusia) yang memiliki kemampuan untuk mencerap pengetahuan. Hal ini sama dengan hati dalam arti lathifah.
Arti lainnya, bahwa setiap diri orang itu ada ‘sesuatu’ (wadah) yang menampung pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan adalah sifat yang menetap dalam ‘wadah’ tersebut. Jadi, pengetahuan tidak indentik dengan ‘wadah’ yang menampungnya. Sehingga, adakalanya kata akal digunakan untuk menyebutkan tentang sifat yang melekat pada diri orang yang berpengetahuan, dan adakalanya juga untuk menyebutkan tentang wadah pengetahuan dalam diri orang itu. Dan inilah barangkalai yang dimaksud dalam sabda Nabi Saw., “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.” (HR. At-Thabrani).
Klasifikasi hati manusia
Akhirnya, melalui kegiatan berselancar singkat di dunia hati seperti di atas, maka kita sudah dapat menarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya hati manusia itu memiliki komponen sifat hidup dan mati. Dalam tataran ini, hati manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga.
Qalbun Shahih (hati yang suci). Yaitu hati yang sehat dan bersih dari setiap nafsu yang menentang perintah dan larangan Allah, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya.
Qalbun Mayyit (hati yang mati). Yaitu hati yang tidak pernah mengenal Ilahnya; tidak menyembah-Nya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. Akan tetapi, ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginannya, walaupun hal ini menjadikan Allah marah dan murka dibuatnya.
Qalbun Maridl. Yaitu hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit. Tepatnya, kondisi hati ini kadang-kadang ia “berpenyakit” dan kadang pula hidup secara normal, bergantung ketahanan (kekebalan) hatinya. Wallahu a’lam. (Tamat)***
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.