InspirasiOpini

Indahnya Berpolitik dengan Bening Hati

  1. Niatkan secara ikhlas. Islam memandang politik sebagai bagian dari amal saleh, maka usahakanlah niatan berpolitik tidak hanya berdampak pada soal duniawi, tapi lebih dari itu menyangkut soal akhirat.
  2. Tidak berdusta. Berpolitik sangat potensial untuk mengobral janji dan membohongi.
  3. Menampilkan program-programnya dengan cara sebaik-baiknya. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik-baiknya (ihsan) dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim).
  4. Tidak memaksa. Politik adalah jalan dakwah dan bukan jalan menghalalkan cara untuk meraih suara maksimal. Kita tak boleh memaksa orang lain untuk menerima, mendukung, dan memberikan hak pilihnya ke satu partai (baca: identik dengan makna QS. 2: 256).
  5. Tidak mengucapkan janji secara berlebihan dalam rangka menarik massa agar mendukung partainya (baca: QS. 17: 34).
  6. Tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, meskipun masing-masing muslim berbeda partai (baca: QS. 49: 10).
  7. Tidak memuji-muji sendiri atau partainya. Akhlak Islam mengharuskan agar suatu partai tidak menganggap dirinya paling baik, Islami, dan sejenisnya. Dan pada pihak lain, ia menganggap partai lain tidak ada yang benar.
  8. Tidak jatuh dalam ghibah, caci maki, dan kata-kata kotor.
  9. Memberikan kemaslahatan bagi bangsa, baik material dan atau spritual.
  10. Dalam aktivitas partainya, selalu ingat akan syariat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT.
  11. Memberikan teladan yang baik. Nabi Saw bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.”

Dalam hal ini, kiranya patut diteladani sikap politik Hamka –Haji Abdul Malik Karim Amrullah–. Pada pribadinya ada sisi lunak, ada juga sisi kerasnya. Jika sudah menyangkut akidah, Hamka tak kenal kompromi. Ia sangat tegas dan kosisten. Sebagai contoh, misalnya sikap Hamka terhadap perayaan Natal Bersama yang pada tahun 1970-an digalakan pemerintahan Soeharto. Selaku ketua MUI saat itu, Hamka mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk mengikuti Natal Bersama, karena merupakan ritual umat Nasrani. Ketika itu Pemerintah mendesak Hamka agar mencabut fatwanya. Tapi, ia menolaknya. Ia memilih mundur dari jabatan ketua MUI daripada harus mengikuti desakan Pemerintah.

Sikap tegas Hamka itu, tidak lain untuk menjaga integritas pribadinya sebagai ulama. Tepatnya, sikap politik Hamka menunjukkan pribadi yang marwah, punya harga diri. Ia tidak gampang tergoda oleh kekuasaan dan fasilitas. Dan inilah, kelihatannya yang hilang dalam sikap berpolitik kita saat ini. 

Bagaimana menurut Anda?

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

admin

www.ArdaDinata.com adalah blog catatan dari seorang penulis merdeka, Arda Dinata yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!